Oleh : Pajrin
Membahas mengenai Pendidikan saya teringat bahwa tan Malaka pernah mengatakan bahawasanya, “Pendidikan yang hanya mengutamakan kepentingan kaum berkuasa, lebih baik tidak ada sama sakali, sebab hanya akan memperjuangkan perbudakan” sesuai kutipan Tan Malaka secara realita di Provinsi Banten menunjukan ketimpangan wilayah utara lebih maju, sementara wilayah Selatan tertinggal. Padahal UU No 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan sebagai hak setiap warga. Ironisnya anggaran besar sering besar sering habis untuk birokrasi, bukan pemeratan guru dan saranan di daerah terpinggirkan.
Kondisi ini menunjukan lemahnya political wiil pemerintah daerah dalam menempatkan Pendidikan sebagai prioritas pembangunan alih-alih memperkuat akses dan kualiatas di wilayah tertinggal, kebijakan anggaran justru terjebak pada belanja birokrasi. Tanpa kebearanian merealokasikan sumber daya untuk pemeratan guru, fasilitas dan mutu pembelajaran, ketimpangan Pendidikan di Banten akan terus melanggengkan kesenjangan sosial dan ekonomi antar wilayah.
Ketika kita berbicara tentang Banten, bayangan yang muncul seringkali Adalah gedung-gedung tinggi, Kawasan industri, dan akses jalan tol yang terkonsentrasi di tanggerang ray hingga serang. Namun jika melangkah lebih jauh ke lebak atau pandeglang, kita akan menemui wajah yang berbeda: sekolah-sekolah dengan fasilitas terataas, ruang kelas reyot, hingga keterbatasan guru berkompetensi.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat rata-rata lama sekolah (RLS) di Banten baru mencapai 8,6 tahun. Artinya, secara rata-rata masyarakat Banten hanya mengenyam Pendidikan Pendidikan hingga Tingkat SMP. Jika diperinci lebih jauh, angka RLS di kabupaten Lebak dan Pandeglang lebih rendah di banding Tanggerang Selatan atau kota Tanggerang. Konteks ini memperlihatkan ketimpangan yang tajam atara utara dan Selatan.
Dalam konsep sosiologi Pembangunan ketimpangan ini dapat di pahami sebagai ketimpangan ini dapat di pahami sebagai bentuk developmental disparity, di mana hasil pembanggunan lebih banyak di nikmati oleh daerah perkotaan yang dekat dengan pusat kekuasaan dan ekonomi, semsentara daerah pinggiran tetap menjadai “periphery” yang termajinalkan. Pierre Bourdieu menyatukan bahwa Pendidikan merupakan arena reproduksi sosial. Artinya mereka yang memiliki modal ekonomi dan kultural tinggi cenderung memiliki askses Pendidikan lebih baik, dan pada akhirnya mempertahankan posisi sosialnya. Di Baten, hal ini terlihat nyata: anak-anak di utara dengan fasilitas digital lengkap, kursus tambahan ,dan sekolah swasta unggulan, berpetualang lebih besar untuk melanjutkan ke perguran tinggi bergrngsi.
Sementara itu, di selatan, banyak anak berhenti sekolah karena harus membantu orang tua bekerja, atau karena jarak sekolah yang jauh dan infrastruktur jalan yang buruk. Fenomena ini memperkuat teori Bourdieu: sistem pendidikan alih-alih menjadi ruang mobilitas sosial, justru mereproduksi ketidakadilan sosial. Teori fungsionalisme Emile Durkheim juga relevan di sini.
Menurut Durkheim, pendidikan berfungsi menjaga kohesi sosial dan melahirkan solidaritas. Namun, ketika akses pendidikan tidak merata, maka yang muncul adalah fragmentasi sosial: selah ada dua Banten dalam satu provinsi, yang satu maju dan modern, yang lain masih berjuang dengan keterbatasan.
Kenyataan di lapangan memperkuat teori-teori tersebut. Masih banyak sekolah di pedalaman Lebak yang atapnya bocor ketika hujan, meja kursi rusak, dan perpustakaan hanya menjadi ruangan kosong. Akses internet, yang menjadi syarat utama dalam era digital, belum sepenuhnya merata. Ketika pandemi COVID-19 memaksa pembelajaran daring, anak-anak di desa-desa terpencil mengalami keterputusasaan karena tidak ada sinyal, bahkan untuk sekadar mengirim pesan singkat.
Bukan hanya infrastruktur, kualitas tenaga pendidik pun masih menjadi masalah. Data dari Kemendikbudristek menunjukkan bahwa masih banyak guru honorer dengan penghasilan minim, yang berdampak pada rendahnya motivasi dan kualitas pembelajaran. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan kualitas generasi muda yang seharusnya menjadi penopang pembangunan daerah.
Sebagai mahasiswa perempuan, saya juga ingin menyoroti bagaimana ketidakadilan pendidikan semakin menekan perempuan di daerah. Di banyak desa, anak perempuan masih dibebani pekerjaan domestik sejak usia dini. Banyak yang akhirnya tidak melanjutkan sekolah karena dianggap lebih baik membantu keluarga di rumah atau menikah muda. Padahal, UNESCO menegaskan bahwa pendidikan perempuan memberikan efek ganda: ketika perempuan berpendidikan, ia tidak hanya meningkatkan kualitas hidup dirinya, tetapi juga keluarganya. Dengan kata lain, menutup akses pendidikan bagi perempuan di Banten Selatan berarti mengorbankan masa depan generasi berikutnya.
Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkan kesenjangan ini terus berlangsung? Saya percaya jawabannya tidak. Pemerintah Provinsi Banten, bersama pemerintah kabupaten/kota, harus berani membuat kebijakan afirmatif berbasis wilayah. Tidak cukup hanya memperbaiki sekolah di kota besar.
Pemerintah harus memastikan sekolah di pedalaman Lebak dan Pandeglang memiliki ruang kelas layak, laboratorium, dan akses internet. Beasiswa juga tidak boleh hanya diberikan berdasarkan prestasi akademik. Harus ada skema afirmasi bagi anak-anak dari keluarga miskin, terutama di pedesaan, agar mereka tidak terhenti di bangku SMP.
Selain itu, guru adalah kunci. Tanpa guru yang sejahtera dan berkualitas, kurikulum sehebat apapun tidak akan bermakna. Oleh karena itu, peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru harus menjadi prioritas. Pemerintah juga perlu mengadakan pelatihan digital agar guru-guru di pedesaan tidak semakin tertinggal di era teknologi. Pada saat yang sama, kampanye pendidikan untuk perempuan harus digencarkan. Masyarakat desa harus diyakinkan bahwa anak perempuan memiliki hak yang sama untuk bersekolah tinggi, bukan sekadar berhenti di bangku SMP lalu dinikahkan.
Opini ini bukan sekadar keluhan, melainkan suara dari selatan yang seringkali terabaikan. Sebagai mahasiswa perempuan, saya percaya bahwa pendidikan adalah jalan pembebasan. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin mewujudkan “Banten Cerdas”, maka keadilan pendidikan harus dirasakan sampai ke pelosok selatan. Ketika akses pendidikan terbuka luas, anak-anak di Lebak dan Pandeglang tidak lagi harus memilih antara sekolah atau bekerja. Perempuan tidak lagi harus berhenti belajar hanya karena tradisi. Dan provinsi ini tidak lagi terbagi dua wajah: yang satu bercahaya, yang lain tersembunyi dalam gelapnya keterbatasan.
Banten tidak akan maju hanya dengan tol dan industri. Banten akan maju jika anak-anaknya, tanpa kecuali, bisa belajar dengan layak.
* Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Untirta














