Oleh : Muhammad Jaiz
Berita tentang antrian pembeli Labubu, boneka bertelinga runcing dan bersenyum nakal di sebuah mall Jakarta, juga antrian penonton konser-konser artis dunia di Jakarta.
Semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa kaum milennial dan Gen Z kita perlahan mulai terasuki fenomena doom spending.
Kecemasan
Cambridge Dictionary mendefinisikan kata doom dengan menjadi penyebab seseorang atau sesuatu mengalami akhir yang buruk. Kemudian doom juga berkaitan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan hingga membuat sesuatu yang buruk itu pasti terjadi.
Sementara spending adalah uang yang digunakan untuk tujuan tertentu. Hal inilah yang membuat istilah doom spending berkaitan dengan pengeluaran yang berkaitan dengan keuangan.
Istilah ini terdengar menyeramkan, namun sebenarnya sangat relevan dengan kebiasaan belanja banyak orang zaman sekarang, terutama generasi Milenial dan Gen Z (zilennial).
Doom spending secara singkat dapat kita artikan sebagai perilaku berbelanja tanpa kendali sebagai respons terhadap stres, kecemasan, atau ketidakpastian.
Misalnya, ketika cemas memikirkan berita buruk tentang ekonomi, situasi dunia yang penuh konflik / perang, kekacauan politik di dalam negeri, kekacauan iklim di mana-mana, atau karena melihat postingan orang lain yang sepertinya selalu bahagia dengan barang-barang mewah mereka.
Zilennial bisa mendadak impulsif untuk membeli sesuatu yang tidak benar-benar mereka butuhkan untuk mengatasi stres itu.
Dr. Emma Smith, seorang ekonom dari Universitas Cambridge, menjelaskan bahwa doom spending menjadi respons psikologis terhadap ketidakpastian yang terus menerus.
Banyak dari mereka merasa bahwa jika mereka tidak menghabiskan sekarang, mereka mungkin tidak memiliki kesempatan untuk menikmati hidup di masa mendatang.
Menurut American Psychological Association (APA), banyak orang di AS yang terkena dampak negatif dari trauma pandemi, konflik global, ketidakadilan rasial, inflasi, dan tantangan lingkungan di sekitar. Semua masalah tersebut dapat bercampur aduk dan menciptakan perasaan akan masa depan yang tak pasti.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka pada 2023 mencapai 5,86 persen dengan sebagian besar penganggur berasal dari kelompok usia muda.
Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi Gen Z, yang sering kali mencari pelarian melalui perilaku belanja yang tidak terkontrol.
Selain faktor kecemasan dan paparan media sosial tadi, doom spending dipercaya didorong pula oleh perasaan bahwa berbelanja dapat mendatangkan kegembiraan.
Beragam penelitian menunjukkan bahwa membeli barang yang kita inginkan dapat memberikan perasaan bahagia.
Ketika zilennial merasa masa depannya suram, menghabiskan uang dengan cara ini bisa menjadi kelegaan dan pelepasan. Doom spending adalah pengalih perhatian yang memungkinkan zilennial memanjakan diri dan melepaskan kekhawatiran untuk sementara waktu.
Didorong FOMO
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, FOMO adalah salah satu pendorong utama dari doom spending. Media sosial punya peran besar dalam hal ini.
Di era digital seperti sekarang, kita terus-menerus dibombardir dengan konten yang menunjukkan kehidupan sempurna, barang mewah, dan gaya hidup eksklusif.
Konten ini sering kali membuat kita merasa “ketinggalan” jika tidak memiliki barang-barang serupa. Padahal, tidak semua yang terlihat di media sosial adalah kenyataan.
Ada yang rela berhutang demi tampil glamor di Instagram, atau membeli boneka Labubu hanya sekedar untuk postingan di feed supaya terlihat keren.
Gen Z Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh gaya hidup yang ditampilkan di media sosial. Berdasarkan laporan We Are Social dan Hootsuite, sekitar 98 persen Gen Z di Indonesia menggunakan media sosial secara aktif, di mana mereka terpapar konten yang mendorong konsumsi dan tren belanja terbaru.
Kombinasi antara tekanan ekonomi dan budaya konsumsi inilah yang membuat doom spending menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani.
Ciri-ciri
Apa saja tanda-tanda umum dari doom spending ini? Seseorang dikatakan melakukan doom spending apabila kerap melakukan pembelian tak terencana, dan membeli barang yang tidak ia butuhkan sebagai respon terhadap perasaan stres atau cemas terhadap masa depannya.
Kemudian ia merasa lega atau senang untuk sementara setelah berbelanja, namun kemudian menyesali pembelian tersebut. Satu hal yang lain yang paling jelas adalah ia mengabaikan menabung untuk masa depan.
Bahayanya
Yang membuat doom spending berbahaya adalah dampaknya terhadap keuangan jangka panjang. Banyak dari zilennial yang terjebak membeli barang-barang yang sebenarnya tidak punya nilai tambah atau manfaat jangka panjang.
Boneka Labubu, meski lucu dan bisa jadi hiasan estetik, sebenarnya tidak memberikan manfaat selain sebagai barang koleksi. Harga boneka ini juga tidak main-main, bisa mencapai jutaan rupiah, terutama untuk edisi terbatas atau yang dianggap langka.
Jadi, apakah boneka ini layak dibeli? Itu tergantung. Jika pembeli adalah kolektor sejati dan mempunyai anggaran yang cukup, mungkin ini tidak masalah. Tapi jika hanya karena mengikuti tren, hati-hati saja.
Doom spending tidak hanya berdampak pada kondisi emosional, tetapi juga memberikan tekanan finansial yang besar. Banyak Gen Z yang terjebak dalam perilaku konsumtif yang berakibat pada peningkatan hutang dan sulitnya menabung.
Berdasarkan survei oleh Katadata Insight Center, 49 persen Gen Z Indonesia mengaku kesulitan untuk menabung secara konsisten.
Selain itu, dengan mudahnya akses kredit digital melalui layanan paylater, seperti yang disediakan oleh GoPay dan OVO, membuat mereka semakin terdorong untuk berbelanja tanpa memperhitungkan kemampuan keuangan.
Kondisi finansial yang tidak stabil juga diperparah oleh rendahnya tingkat literasi keuangan di kalangan Gen Z.
Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan di Indonesia hanya sebesar 49,68 persen. Ini artinya, hampir separuh dari penduduk Indonesia, termasuk Gen Z, belum memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana mengelola keuangan pribadi dengan bijak.
Banyak orang mengorbankan anggaran penting demi ikut-ikutan beli barang yang lagi tren, dan ini termasuk kebiasaan yang buruk bagi kesehatan finansial.
Apalagi bagi generasi muda yang penghasilannya masih belum stabil atau banyak yang masih berjuang di awal karier, kebiasaan doom spending bisa berujung pada masalah utang atau keuangan jangka panjang.
Sebagai contoh, banyak yang menggunakan kartu kredit atau pinjaman untuk memenuhi hasrat belanja, padahal ini bisa jadi bumerang di kemudian hari.
Cara Menghindari
Jadi bagaimana caranya supaya kita tidak terjebak dalam pola belanja impulsif ini? Berikut beberapa tips yang bisa kita coba. Pertama, pikir dua kali sebelum membeli.
Tahan diri selama 24 jam sebelum memutuskan untuk membeli sesuatu. Ini memberi waktu bagi otak untuk merenung, “Apakah aku benar-benar butuh barang ini?”.
Kemudian, biasakan membuat anggaran dan ikuti. Coba membuat anggaran bulanan dan patuhi batasan yang sudah kalian tetapkan. Kalau tidak ada anggaran untuk barang-barang seperti boneka Labubu, jangan dipaksakan.
Selanjutnya, jauhi aplikasi belanja saat sedang stres. Kadang, kita membuka aplikasi belanja sebagai pelarian saat merasa bosan atau stres. Coba ganti kebiasaan ini dengan aktivitas lain, seperti membaca buku atau olahraga ringan.
Lalu tips berikutnya patut dicoba. Kurangi eksposur media sosial. Jika terlalu banyak terpapar konten yang memancing FOMO, tidak ada salahnya untuk sedikit berjarak dari media sosial. Tidak apa-apa tertinggal satu atau dua tren demi kesehatan mental dan finansial.
Terakhir, tingkatkan literasi keuangan. Semakin paham soal keuangan, semakin mudah juga kita mengendalikan kebiasaan belanja. Mulailah belajar tentang cara mengelola uang, menabung, dan berinvestasi. (*)
Penulis mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta