Menu

Mode Gelap
Presiden Prabowo Subianto Lantik Penasehat Khusus, Utusan Khusus dan Staf Khusus Presiden Presiden Prabowo Lantik Wakil Menteri Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto Lantik Menteri Kabinet Merah Putih Prabowo Subaianto-Gibran Rakabuming Raka Resmi Jabat Presiden dan Wakil Presiden RI Hasil Pengundian KPU Banten, Airin-Ade Nomor Urut Satu, Andra-Dimyati Nomor Urut Dua

Hukum & Kriminal · 17 Jan 2025 16:17 WIB ·

Kritik KPA Banten Terhadap Putusan Bebas Pelaku Kekerasan Seksual Kepada Anak Kandung


 Kritik KPA Banten Terhadap Putusan Bebas Pelaku Kekerasan Seksual Kepada Anak Kandung Perbesar

SERANG – Komnas Perlindungan Anak atau KPA Provinsi Banten memberikan kritik terhadap putusan bebas pelaku kekerasan seksual kepada anak kandung.

Kritik diberikan sekaligus bentuk keprihatinan mendalam atas putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Serang pada 16 Januari 2025 dalam kasus kekerasan seksual anak dengan terdakwa MS (46) terhadap anak kandungnya.

Putusan ini tidak hanya mencederai rasa keadilan bagi korban, tetapi juga menjadi pukulan berat bagi perjuangan melindungi anak-anak yang rentan.

“Kami menilai keputusan ini dapat menjadi preseden buruk yang melemahkan upaya pemberantasan kekerasan seksual, terutama terhadap anak-anak, yang seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal dari negara dan masyarakat,” ujar Ketua KPA Banten, Hendry Gunawan, Jumat 17 Januari 2025.

“Kami sangat khawatir bahwa putusan bebas dalam kasus ini dapat menciptakan preseden buruk yang membahayakan anak-anak di masa depan,” tambah Gugun.

Menurutnya, para predator anak bisa saja melihat keputusan ini sebagai celah hukum yang dapat dimanfaatkan, bahkan menggunakan berbagai langkah dan pertimbangan yang diambil sebagai yurisprudensi untuk membela diri di kasus serupa.

“Ini adalah ancaman serius yang harus menjadi perhatian seluruh pihak, baik aparat penegak hukum, pengambil kebijakan, maupun masyarakat luas,” katanya.

Menurutnya, keputusan ini tentu memberikan sinyal yang salah bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat lolos dari jerat hukum dengan menggunakan taktik yang mengaburkan fakta dan menciptakan keraguan terhadap korban.

“Misalnya, pencabutan laporan, perdamaian yang tidak sahih, dan argumen-argumen manipulatif lainnya berpotensi dijadikan alat pembelaan oleh pelaku kekerasan di kemudian hari,” katanya.

Gugun mengatakan, pihaknya ingin menyoroti beberapa hal penting yang menunjukkan betapa keputusan ini kurang mencerminkan keberpihakan kepada korban.

Pertama, pertimbangan bahwa korban melaporkan kejadian ini karena rasa cemburu terhadap ibu tirinya sungguh tidak masuk akal. Anak yang mengalami kekerasan, terutama dari figur otoritas seperti ayah kandung, biasanya merasa takut dan enggan untuk berbicara.

BACA JUGA   DPK Banten Ajak OPD Sadar dan Peduli Arsip

“Fakta bahwa korban berani mengungkapkan kejadian ini kepada pamannya, yang kemudian mendampingi korban membuat laporan, menunjukkan adanya dasar yang kuat atas pengaduan tersebut,” katanya.

“Alasan cemburu jelas tidak sebanding dengan risiko besar yang harus dihadapi korban ketika melaporkan kasus ini,” tambah Gugun.

Kedua, perdamaian antara korban dan pelaku tidak dapat dijadikan dasar pembenaran hukum. Dalam kasus ini, relasi kuasa antara ayah sebagai pelaku dan anak sebagai korban sangat nyata, terlebih dengan situasi di mana ibu kandung korban telah meninggal dunia.

“Perdamaian tersebut patut dicurigai sebagai hasil tekanan, bukan keputusan sukarela dari korban,” katanya.

Lebih jauh, Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan tegas menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.

“Perdamaian semacam ini tidak seharusnya dipertimbangkan dalam proses hukum,” terangnya.

Ketiga, pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh korban juga tidak semestinya dijadikan alasan untuk menghentikan proses hukum.

Kekerasan seksual terhadap anak adalah delik biasa, yang artinya aparat penegak hukum tetap berkewajiban memproses kasus meskipun korban mencabut laporannya.

Pencabutan ini harus dilihat lebih jauh, apakah dilakukan dengan sukarela atau akibat adanya intimidasi, bujuk rayu, atau tekanan dari pelaku atau pihak lain.

“Hubungan keluarga antara korban dan pelaku menjadi elemen yang sangat rentan untuk dimanfaatkan sebagai sarana mempengaruhi korban,” katanya.

Keempat, KPA Banten melihat hasil kesimpulan visum et repertum yang menyatakan bahwa luka yang ditemukan bukan akibat perbuatan terdakwa melainkan oleh pihak lain, perlu untuk didalami.

“Kesimpulan ini memerlukan penjelasan ilmiah yang lebih mendalam. Apakah pemeriksaan telah dilakukan dengan standar yang kredibel dan tidak hanya berdasarkan pengakuan, yang bisa saja dihasilkan dari intimidasi?” Katanya.

BACA JUGA   Des Ganjar Banten Nilai Ganjar Cocok Meneruskan Presiden Joko Widodo

Selain itu, visum et psikiatrikum tentu bisa menjadi bagian dari pembuktian lainnya dalam melengkapi dan untuk menggambarkan kondisi psikologis korban dan memastikan tidak ada celah yang melemahkan perlindungan bagi korban.

Kelima, kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Oleh sebab itu, hukuman yang diberikan kepada pelaku seharusnya mencerminkan beratnya dampak kejahatan tersebut.

“Apalagi jika kejahatan dilakukan oleh ayah kandung, hukuman maksimal yang diatur dalam undang-undang, yakni 15 tahun penjara, harus ditambah sepertiga,” katanya.

Namun, dengan dibebaskannya terdakwa, secara otomatis usaha yang telah dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam melengkapi bukti hingga status P21 (berkas dinyatakan lengkap untuk disidangkan) menjadi terabaikan.

“Fakta ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan penting dalam memutuskan perkara sebesar ini,” terangnya.

Untuk itu, kata Gugun, pihaknya mendorong aparat penegak hukum untuk mempertimbangkan langkah hukum kasasi demi memastikan keadilan bagi korban.

“Keputusan ini tidak hanya penting bagi korban, tetapi juga menjadi bagian dari perjuangan kolektif melindungi hak anak-anak dari kekerasan yang terus mengintai,” katanya.

“Langkah ini penting untuk menjaga lilin semangat para pejuang anak agar tetap menyala dan menjadi penanda bahwa keadilan masih mungkin ditegakkan,” tambah Gugun.

Pihaknya juga mengajak masyarakat untuk lebih peduli dan aktif memberikan dukungan kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

“Kami percaya bahwa keadilan untuk anak-anak tidak hanya tentang tegaknya hukum, tetapi juga tentang menjaga harapan dan keberanian mereka,” katanya.

“Semoga kasus ini membuka mata kita semua untuk terus memperkuat perlindungan terhadap anak-anak dan memastikan suara mereka tidak pernah diabaikan,” timpal Gugun. (*/rls)

Artikel ini telah dibaca 8 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Aktivis KAMMI Serang Diminta Aktif dalam Mengawal Pembangunan Daerah

9 Februari 2025 - 15:48 WIB

Wartawan Banten TV Darmawijaya Nahkoda Baru PWKS 2025-2028

8 Februari 2025 - 17:35 WIB

Disparpora Kota Serang Siapkan Terobosan Baru di Wisata Banten Lama

4 Februari 2025 - 22:34 WIB

Karang Taruna Kota Serang Dituntut Berkontribusi dalam Pembangunan

4 Februari 2025 - 16:55 WIB

Hadiri Turnamen Futsal Diesnatalis HMI, KNPI Kota Serang Ajak Pelajar Perangi Tawuran

31 Januari 2025 - 18:22 WIB

Kanwil DJP Banten Kukuhkan 704 Relawan Pajak Untuk Negeri

22 Januari 2025 - 17:27 WIB

Trending di Ekonomi