SERANG – Advokasi Inklusi Disabilitas atau AUDISI Foundation mengecam maraknya kasus pelecehan, kekerasan, dan tindakan tidak manusiawi yang merendahkan harkat dan martabat penyandang disabilitas di Indonesia.
Hingga pertengahan tahun 2025 ini, rentetan kasus telah terjadi dan menorehkan luka yang dalam, baik bagi korban maupun komunitas disabilitas secara umum.
Ketua AUDISI Foundation, Yustitia Arief mengungkapkan, pihaknya tengah menyoroti beberapa kasus yang belum lama ini terjadi.
Beberapa kasus yang diantaranya, pengusiran secara tidak manusiawi terhadap pengamen tunanetra di Medan; Kekerasan seksual terhadap anak autis di sebuah sekolah khusus di Tangerang Selatan.
Kemudian, pemerkosaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Jakarta Timur; Dan kasus pelecehan seksual yang menimpa penyandang disabilitas di Barito Timur, Kalimantan Tengah.
“Rangkaian kejadian ini menunjukkan betapa penyandang disabilitas masih sangat rentan, dan sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun keadilan yang layak,” ujarnya melalui siaran pers, Selasa 24 Juni 2025.
“Mereka dipandang sebagai kelompok yang lemah, sehingga mudah menjadi korban manipulasi, kekerasan, dan eksploitasi,” tambah Yustitia.
Padahal, kata dia, hak untuk hidup layak sebagaimana dijamin dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta hak bebas dari stigma (Pasal 7) merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dinegosiasikan.
“Kami menyatakan bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap penyandang disabilitas adalah pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Menurutnya, negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk melindungi setiap warganya, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, dari kekerasan dan diskriminasi.
Kata dia, AUDISI Foundation menyampaikan seruan. Pertama, tindak tegas semua pelaku kekerasan dan pelecehan terhadap penyandang disabilitas melalui proses hukum yang adil dan berpihak pada korban.
Kedua, terapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara maksimal dengan pemberatan hukuman bagi pelaku yang menyasar korban penyandang disabilitas.
Ketiga, perkuat sistem perlindungan dan pendampingan hukum bagi penyandang disabilitas, khususnya perempuan dan anak. Keempat tingkatkan kesadaran masyarakat dan lembaga pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang aman, bebas stigma, dan ramah disabilitas.
Kelima, mengajak seluruh pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, media, dan masyarakat sipil, untuk mengawal pelindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagai bagian dari pembangunan masyarakat inklusif.
Kata dia, penyandang disabilitas adalah warga negara yang setara, memiliki hak yang sama untuk hidup aman, bermartabat, dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
“Kita semua memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan mereka tidak lagi dipinggirkan,” katanya.
“Mari kita wujudkan Indonesia yang inklusif, adil, dan ramah disabilitas, di mana setiap individu dihargai dan dilindungi tanpa pengecualian,” tutup Yustitia. (*/rls)














