Oleh : Aisyah
Saat kami kelas 12 SMA, semester akhir, seperti biasa ada yang namanya ujian praktik. Untuk ujian praktik pelajaran Bahasa Indonesia, kami ditugasi membuat novel.
Genre novelnya bebas. Boleh horor, komedi, fantasi, romantis, atau slice of life, terserah kami.
Kala itu saya bingung sekali. Apa ya novel yang akan saya buat nanti? Genrenya apa? Walaupun saya suka membaca novel, tapi antara membaca dan menulis itu jelas berbeda kan ya?
Tugas membuat novel ini diberikan saat kami akan menjalani libur semester. Sementara tenggat waktu pengumpulannya paling lambat 3 minggu setelah masuk sekolah lagi. Memang terhitung lama juga sih batas pengumpulannya. Tapi tetap saja membuat kami ketar-ketir.
Demikianlah akhirnya, menjelang libur semester itu saya memikirkan akan membuat novel apa dan bagaimana. Saya sempat terpikir untuk membut novel bergenre horor.
Ah, tapi saya kan tak pandai mengarang cerita yang menakutkan, karena pengalaman horor saja sedikit. Saya sungguh bingung sekali waktu itu.
Akhirnya saya memutuskan untuk bertanya ke teman-teman sekaligus mencari bocoran ide : mereka sedang membuat novel genre apa ya kira-kira? Teman-teman sekelas saya, seperti sudah diduga, memilih bermacam genre.
Ada yang memutuskan horor karena memang wajahnya horor, eh maaf…karena sebelumnya memang suka menulis cerita horror. Ada yang memilih genre fantasi karena dia suka berkhayal.
Ada yang slice of life, ada juga yang genre romantis. Nah genre romantis ini yang membuat saya terinspirasi, karena si bestie ini membuatnya dari pengalaman nyata, alias tidak mengarang.
Akhirnya setelah memikirkan cukup lama, saya memutuskan genre yang saya pilih adalah ‘romantis based on pengalaman’. Namun setelah menetapkan genre ini, saya malah bingung sendiri.
Apa ya yang akan saya tulis : pengalaman yang mana? Maklum saya terlalu banyak pengalaman romantis…cieee.
Maka, jadilah selama liburan itu saya benar-benar belum mengetik satu kata pun. Bahkan judul saja belum. Saya bertanya lagi ke teman-teman mereka sudah mulai membuat novelnya apa belum.
Sudah mengetikkannya atau belum. Sebagian teman sudah ada yang membuatnya hingga beberapa halaman. Ada yang baru judulnya. Bahkan ada yang belum sama sekali sama seperti saya. Pokoknya lucu deh.
Karena masih banyak yang belum membuat, sama seperti saya, jadi selama liburan semester itu saya masih santai saja wong memang masih bingung.
Dan akhirnya, tadaaaa……
Liburan semester telah usai, waktunya masuk sekolah lagi. Celakanya saat masuk sekolah, lagi-lagi saya masih diliputi kebingungan hendak menulis cerita apa dengan judul apa. Senentara temen-temen saya sudah ada yang 30 lembar. Dari situ saya akhirnya memutuskan untuk serius mikir.
Setelah memikirkan cukup lama, akhirnya saya memutuskan memberi judul novel saya “To Be Chosen”. Kenapa judulnya itu? Karena sesuai dengan pengalaman percintaan saya hehe.
Judul itu dibuat pada H – 2 minggu sebelum deadline. Bayangkan! Mepet banget deh pokoknya. Dasar saya.
Nah setelah menentukan judul itu, saya tak langsung mulai mengetik isi novelnya. Saya memilih membuat covernya dulu, untuk jaga-jaga jika sudah selesai nanti, bisa dicetak layaknya novel pada umumnya.
Dua minggu itu saya habiskan buat mengetik karena target novel saya bisa lebih dari 20 lembar. Sebetulnya, 2 minggu itu juga tidak setiap hari sih saya mengetik.
Tiga hari dalam seminggu saya harus les setelah pulang sekolah, jadi ya sesampainya rumah tentu lelah dan langsung istirahat.
Tapi Sabtu dan Minggu selalu saya sempetkan untuk mengetik walaupun terkadang mengalami kebuntuan akan mengetikkan apa lagi.
Saat akhirnya saya bisa menyelesaikan pembuatan novel itu, saya seneng sekali karena bisa merasakan serunya membuat tulisan walaupun itu cuma novel yang tujuannya untuk tugas.
Dan akhirnya syukurlah, setelah sekian purnama saya lewati, novel saya selesai juga dengan total 64 halaman. Esoknya saya langsung cetak lewat Shopee. Namun karena novel itu cetak kertasnya bolak-balik jadi hasil akhirnya 32 halaman.
Tiga hari setelah checkout, akhirnya paket novel saya sampai juga. Saat membukanya, saya terharu sekali karena bentuknya tak ada bedanya dengan novel betulan. Serius!
Walaupun cuma 32 halaman tapi saya bangga sekali, karena bisa membuat tulisan sendiri hasil dari mencurahkan segala ide, perasaan, dan emosi ke dalam suatu karya.
Sekarang novel saya ada di perpustakaan sekolah. Sengaja ditaruh di sana agar bisa dibaca oleh adik-adik kelas, dengan disertai harapan semoga bisa meningkatkan literasi siswa-siswi sekolah saya.
Semoga. Sekali lagi, semoga. (*)
Penulis adalah Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta Angkatan 2024