Oleh : Abdurrohman, Wawan Hadianto, dan Lukman Nulhakim
Setiap kali berbicara tentang jati diri, selalu saja ada pihak-pihak yang tidak setuju dan seolah-olah mcnganggap kita ingin menempatkan diri sebagai seorang yang bersih, yang lalu menyuruh orang lain membersihkan dirinya.
Untuk ítu, atas dasar masukan dan saran-saran yang kita dapatkan, kita kemudian menambahkan kata menyemai agar pemahamannya lebih dapat diterima oleh orang banyak schingga munculah kata-kata “menyentai jati diri”. Ini merupakan Strategi. Menyemai menjadi suatu bentuk ajakan, ajakan untuk melakukan sesuatu demi hari depan.
Dalam perhitungan kita, siapapun orangnya, tua atau muda, bila merasa telah berbuat sesuatu yang kurang baik, pasti akan menanggapi positif ajakan untuk memperbaiki hari depan demi anak dan cucu.
Di balik ajakan yang mengatasnamakan anak dan cucu ini, secara implisit kita hendak menyampaikan bahwa tujuan itu tidak akan pernah tercapai bila tidak didahului oleh suatu contoh atau keteladanan.
Di sinilah akhirnya, mau tidak mau, kita harus terlebih dahulu menemukan dan membangun jati diri kita sendiri, dengan cara berani membersihkan mata hati dari segala penyakit dan kotoran. Atau, dengan sederhananya kita harus berani melakukan introspeksi.
Kesadaran untuk melakukan introspeksi diri terutama bagi generasi muda, karena hari depan bangsa dan negara ada di tangan mereka, khususnya pemuda yang memiliki jati diri dan siap untuk menjadi pemimpin yang berkarakter.
Dalam era globalisasi, arti dan peran dari jati diri menjadi lebih penting. Obsesi dan pemikiran ini mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara, yaitu sebagai arah atau tuntunan ke depan tentang perlunya “self leadership” Sebagaimana ditekankan oleh Kelly Poulus.
Kita memang harus bisa mencangkan kinerja pribadi yang harus kita miliki sebagai visi atau kiblat yang jelas, Kita harus mempunyai rencana atau action plan yang efektif dan harus konsisten melakukannya. Hal-hal yang prinsip dan sederhana, tetapi mendasar itu hanya bisa kita pegang kalau kita memiliki karakter yang mulia.
Seperti dikatakan Antonin Scalia, seorang hakim pengadilan tinggi di Amerika Serikat, the only thing in the world not for sale is character (satu-satunya di muka bumi yang tidak diperjualbelikan adalah karakter).
Karena “karakter” tidak ternilai berapapun harganya, karena karakter hanya bisa dibentuk lewat serangkaian pengalaman hidup seseorang, kecuali bagi palaku korupsi, itulah contoh nyata orang-orang yang dengan sengaja telah menggadaikan atau menjual karakternya hingga ketitik nol hanya demi meraup dan menggapai harapan yang melampaui kenyataan.