Oleh : Deka Prawira
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) merupakan terobosan Pemerintah untuk menyederhanakan regulasi yang selama ini tumpang tindih. Selain mempermudah investasi, regulasi tersebut juga melindungi hak-hak masyarakat dan lingkungan hidup.
Banyak Isu liar yang muncul di publik yang mengatakan bahwa pekerja kontrak ditekan haknya dan dipinggirkan. Nyatanya justru berbanding terbalik. Pada pasal 61 ayat 1-3 tentang perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak) akan tetap diberi uang kompensasi sesuai dengan masa kerjanya kepada buruh.
Hal tersebut menjelaskan bahwa kekhawatiran soal pemberi kerja yang bisa bersikap sewenang-wenang dengan mengutak-atik status dan kontrak kerja tidak diberi ruang oleh UU sapu jagad ini. UU Cipta Kerja ini justru menjunjung tinggi azas keadilan fairness dalam konteks hubungan pemberi kerja dengan buruh.
Perlu diketahui pula, bahwa dalam UU Cipta Kerja, setiap pekerja yang kehilangan pekerjaannya berhak mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan yang anggarannya tidak dipungut dari pekerja maupun pemberi kerja maupun dari APBN.
Pemberi JKP juga tidak menurunkan manfaat dari jaminan lainnya seperti jaminan kecelakaan kerja (JKK). Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).
Jika dianalisa secara saksama, persepsi bahwa UU Cipta Kerja merupakan regulasi yang memberatkan buruh, adalah hal yang tidak bisa dibenarkan. Banyak pasal yang justru bertujuan untuk melindungi buruh atau pekerja domestik.
UU Cipta kerja juga menjadi angin segar serta menjadi solusi dari masalah pesangon sehingga memberikan kepastian pembayaran pesangon bagi pekerja di sektor apapun.
Perlu diketahui bahwa pesangon merupakan kewajiban pengusaha. Cepat atau lambat, pesangon harus dibayarkan. Maka, UU Cipta Kerja hadir untuk menata aturan ketenagakerjaan di Indonesia agar menjadi lebih baik.
Dengan demikian, UU Cipta Kerja bakal mampu meningkatkan iklim usaha yang kondusiff, menciptakan lapangan kerja baru dan memcu pertumbuhan ekonomi nasional. Tanpa mengabaikan hak-hak pekerja yang semestinya.
Dengan adanya UU Cipta Kerja, diharapkan dapat kembali menguatkan kembali terkait kebijakan PHK yang telah diator dalam konstruksi skema baru PHK dan Pesangon. Inti dari kluster ketenagakerjaan yakni mengubah atau menghapus serta menetapkan dari beberapa ketentuan UU yang berlaku.
Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan juga telah membedakan jenis dan banyaknya kompensasi yang didapatkan pekerja/buruh jika terjadi PHK tergantung dari alasan terjadinya PHK tersebut. Yang mana, dulunya pekerja yang PHK-ya terjadi karena mengundurkan diri secara sukarela tidak berhak atas uang pesangon.
Namun saat ini, UU Cipta Kerja secara tegas menyatakan bahwa, dalam hal terjadinya PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon (UP) dan/atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima, tanpa membeda-bedakan berdasarkan alasan terjadinya PHK.
Sementara itu anggapan bahwa UU Cipta Kerja menghapus izin lingkungan adalah hal yang tidak benar. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengatakan, tidak benar bahwa UU Cipta Kerja ada kemunduran terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dalam melindungi lingkungan.
Siti memaparkan bahwa UU Cipta Kerja juga mengatur amdal yang harus dikenakan kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM), maka pemerintah akan memberikan fasilitasi seperti teknis dan pembiayaan dan lain-lain seusai Pasal 32 UU Cipta Kerja. Secara teknis nanti akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Siti Nurbaya menjelaskan, prinsip dan konsep dasar pengaturan amdal dalam UU Cipta kerja tidak berubah dari konsep pengaturan dalam ketentuan sebelumnya. Perubahan lebih diarahkan untuk penyempurnaan kebijakan dan aturan pelaksanaan sesuai dengan tujuan UU Cipta Kerja yang memberikan kemudahan kepada pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan dengan tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Sementara untuk memperkuat penegakkan hukum, Siti Nurbaya menjelaskan, dalam konstruksi izin lingkungan terpisah dari perizinan berusaha. Apabila ada pelanggaran, kemudian dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin, maka yang dikenakan adalah izin lingkungan. Selama izin usaha tidak dicabut, maka kegiatan dapat tetap berjalan.
Dengan diintegerasikan kembali ke dalam perizinan berusaha, maka misal ada pelanggaran, yang akan terkena konsekuensi adalah izin utamanya yakni perizinan berusaha. UU Cipta Kerja secara tegas juga memuat persyaratan lingkungan yang dihasilkan dari proses dokumen lingkungan.
Sedangkan fungsi persetujuan lingkungan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan penyelenggara usaha dan/atau kegiatan izin usaha/perizinan berusaha serta komitmen pengelolaan lingkungan pelaku usaha dapat diawasi dan ditegakkan hukum atau hal tersebut termuat dalam syarat perizinan berusaha.
UU Cipta Kerja sempat menuai polemik pada 2 isu yakni perlindungan masyarakat khususnya buruh serta perlindungan terhadap lingkungan, namun pada dasarnya UU Cipta Kerja tidak mengabaikan kedua hal tersebut.***
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute