Oleh: Nedi Suryadi *
Sejak 4 September 2020, tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak telah dimulai. Semua bakal pasangan calon ramai-ramai menyerahkan berkas pendaftaran ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Wilayah Banten, terdapat empat kabupaten/Kota yang mengikuti Pilkada Serentak 2020. Yakni, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kota Cilegon dan Kota Tanggerang Selatan.
Berbeda dengan Pilkada Serentak 2018. Calon petahana di Kabupaten Lebak harus berlawanan dengan Kolom Kosong. Sungguh Ironis. Kondisi, berbeda di Pilkada Serentak 2020, tidak ada pasangan calon yang tunggal.
Di Kabupaten Serang terdapat dua bakal pasangan calon (Bapaslon), begitupun Kabupaten Pandeglang, di Kota Tanggerang Selatan terdapat tiga bapaslon. Menariknya, di Cilegon menjadi daerah dengan kandidat terbanyak, yakni empat Bapaslon.
Jika diperhatikan, sebagian dari para Bapaslon terdapat wajah baru. Namun, lebih didominasi wajah lama. Terlepas dari itu semua, saya ingin mengatakan bahwa demokratisasi partai politik di Banten berjalan. Terlebih, adanya Bapaslon jalur perseorangan unjuk keberanian. Apresiasi formal yang wajar.
Dalam tulisan ini, Saya tak akan membuat analisa tentang kemugkinan siapa yang kalah, dan siapa yang menang. Koalisi mana yang kuat dan yang lemah. Termasuk soal elektabilitas dan popularitas pasangan calon. Saya tak akan membahas itu.
Pertama, karena pada posisi Saya hal itu tidak begitu penting. Kedua, banyak pengamat politik lebih berkompeten membahas hal itu. Pada tulisan ini saya berusaha memisahkan diri dari unsur unsur yang terlibat dalam Pilkada. Termasuk dari masyarakat sebagai sasaran utama hajat demokrasi ini.
Bagi sebagian orang Pemilu menjadi kabar menggembirakan, tapi buat sebagian orang Pilkada adalah rutinitas yang menjemukan. Saya tidak dulu bicara Pandemi Covid-19. Tetapi ini tentang ‘Serangan Pemilu’ yang bertubi-tubi.
Saya tidak juga bicara tentang politik nasional tetapi, tulisan ini hanya akan memotret situasi politik lokal Banten. Saya akan mulai dari tahun 2017, mundur tiga tahun ke belakang. Artinya setiap tahun, masyarakat Banten harus mengikuti proses pemilihan umum.
Mulai dari Pilgub Banten tahun 2017, Pilkada Serentak 2018 dan pemilihan serentak tahun 2019 secara politik cukup menyebalkan dan teknisnya pun cukup menyulitkan. Karena pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sekaligus pemilihan legislatif dari tingkat pusat sampai daerah. Tahun 2020, masyarakat kembali dihadapkan pada pemilihan serentak Bupati dan Walikota.
Baik, di atas saya menggunakan istilah yang rada ekstrim ‘Serangan Pemilu’, konotasinya tentu berbeda dengan ‘Serangan Fajar’. Saya tidak ingin mengajak pembaca untuk bersikap pesimis terhadap politik.
Tetapi, Saya ingin mengajak pembaca melihat realitas dan menghindar dari alibi politis, bahwa membangun suatu daerah butuh proses, cenderung birokratis, terkadang tidak banyak dipahami oleh masyarakat secara umum. Tanpa bertanya dahulu kepada KBBI, Saya cepat ingin mendefinisikan Serangan sebagai sebuah tindakan yang bertujuan untuk melumpuhkan lawan.
Pada konteks ini, Saya ingin memposisikan rakyat sebagai objek yang akan diserang secara habis-habisan. Mohon ma’af, jika Pemilu Saya analogikan menjadi sekelompok gerombolan penyamun yang akan mencuri perhatian, simpati dan hati rakyat.
Analogi yang amat buruk, tapi faktanya memang begitu, bukan? Pemilu datang dengan senjata lengkap, sehingga rakyat mau atau tidak mau harus tunduk dan patuh kepadanya. Rakyat sebagai pemilih, diberikan kebebasan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya.
Begitulah narasi yang dibangun dari tahun ke tahun. Namun, apakah pernah ada yang melakukan survey secara otentik berapa persen, rakyat memilih murni karena kehendak atau kesadarannya. Dalam artian menganggap Pemilu adalah peristiwa penting penentu nasib bangsanya dan dirinya secara individu.
Kemudian, berapa persen rakyat memilih karena rayuan atau bahkan sogokan dalam menentukan pilihan. Belum ada? Semua lembaga survey dalam Pilkada hanya menganalisa siapa yang suaranya tertinggi dan terendah.
Penyelenggara Pemilu tentu melakukan evaluasi setelah tahapan Pemilu. Tapi, evaluasi dimaksud adalah evaluasi yang menyeluruh. Seperti, meliputi regulasi, system politik dan culture pemilih kita.
Sebatas himbauan kepada masyarakat untuk menjadi pemilih cerdas memang dilakukan. Tetapi, ukuran keberhasilan dari himbauan itu, kita tidak pernah mendapat kesimpulan.
Saya ingin mengajak mendefinisikan ulang mengenai pemilih cerdas pada momentum Pilkada kali ini. Definisi kita mengenai pemilih cerdas punya kemampuan menganalisa para kandidat secara objektif dan tidak bisa disogok ini harus ditingkatkan.
Pemilih cerdas, bagi Saya adalah pemilih yang mampu memberikan tawaran konstruktif. Baik, terhadap penyelenggara pemilu, partai polititik ataupun kepada para kandidat secara individu. Jika tidak, memilih adalah bukan pilihan. Maka, rakyat harus menentukan pilihan tetapi dengan syarat.
Syarat yang tidak mengarah pada kepentingan praktis, seperti kami akan memilih, jika di desa kami dibangunkan lapangan tenis dan lain-lain. Syarat semacam ini, bagi saya tidak akan merubah apapun terhadap substansi Pemilu. Syarat dimaksud adalah syarat yang mengarah pada sebuah tatanan nilai, system politik yang dibangun, yaitu menuju culture politik lebih maju.
Dimana, syarat yang mesti diajukan oleh masyarakat cukuplah sederhana. Misalnya, kami dari masyarakat desa ‘anu’ siap memilih pada Pilkada tahun 2020, jika aturan yang dibuat oleh penyelenggara Pemilu begini.
Kemudian, jika system kepartaian yang dibangun seperti ini. Jika calon atau kandidat memiliki kemampuan ini dan itu. Bila syarat yang kami ajukan tidak bisa dipenuhi, maka kami tidak akan menyalurkan pilihan kami. Sangat teknis sekali. Tapi, bukankah sedang musim selogan keren tanpa teknis yang jelas. Untuk menuju kearah ini, memang tidak mudah, tapi apakah politik kita akan tetap diam di tempat.
Di era digital seperti ini, tiap peristiwa politik berada di arena terbuka. Masyarakat bisa dengan mudah dan cepat menerima informasi berbagai macam peristiwa.
Ini adalah peluang untuk kemajuan politik kita. Namun, jika mentalitas masyarakat tidak dibangun maka hal ini justru akan menjadi ancaman yang serius. Masyarakat mengalami kelelahan politik, jika Pemilu yang digelar tiap tahun tidak ada perkembangan.
Pemilu adalah ladang, dimana semua orang menanamkan harapan. Tetapi buah yang dituai selalu kekecewaan. Seperti makan sambal, bilang pedas tapi dimakan lagi dan dimakan lagi. Begitulah kira kira analogi saya terhadap masyarakat kita hari hari ini.
Setelah Pemilu, mereka kecewa, menganggap janji bohong, tetapi pada saat Pemilu kembali tiba mereka kembali memilih lagi. Absurd. Mari kita berhenti sejenak mejadikan pemilu sebagai ajang transaksi kepentingan, jadikanlah pemilu sebagai transaksi pikiran. Demikian.
)* Penulis adalah Penggiat Media Sosial