Oleh: Sintia Aulia Rahmah
Emansipasi pada dasarnya lahir dari asas keadilan dan kesetaraan. Secara definitive memberikan hak yang sepatutnya diberikan kepada orang atau sekelompok orang dimana hak tersebut sebelumnya dirampas atau diabaikan dari mereka.
Istilah ini tentu berbeda dengan kata kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, melainkan pembebasan dari perbudakan dan pemberian hak dalam berbagai hal yang sebelumnya terampas darinya.
Dalam sejarah Islam emansipasi perempuan dijelaskan secara perlahan-lahan namun pasti. Proses perubahan itu tercatat dalam al-Quran sampai pada taraf penghapusan tuntas sistem perbudakan.
Budak dan perbudakan atau milkul yamin bertentangan dengan semangat kemanusiaan yang dijuangkan oleh Islam. Karena dalam keyakinan Islam manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka sebagai kemuliaan dan anugerah Alla swt.
Sesuai fitrah yang diberikan Allah swt kepada setiap manusia dengan berstatus merdeka, namun akibat dari situasi sosial dan politik tertentu menempatkan mereka dalam sistem perbudakan
Dalam karya Syekh M Khudhari “Tarikhut Tasyri’ Al-Islami” dijelaskan bahwa sistem perbudakan telah ada di jazirah timur dengan terlembaga di tengah masyarakat (Qs. Al-Mukmin : 5 & An-Nisa : 3). Maka perlahan Islam masuk dan menghapus adat tersebut dengan empat tahapan/cara;
Pertama pembebasan budak merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah swt, jika manusia ingin bersyukur kepada Allah swt maka wajib bagi dirinya memerdekakan budak. ( Qs. Al-Balad : 11-18).
Pembebasan budak sebagai bentuk sanksi atas kejahatan-kejahatan baik criminal maupun kejahatan lainnya. Seperti a). pembunuhan tanpa sengaja (Qs. An-Nisa : 92), b). pelanggaran zhihar yang dilakukan oleh suami (Qs. Al-Mujadalah : 3), c). pelanggaran sumpah—kaffaratul yamin—(Qs. Al-Maidah : 89).
Cara lain pembebasan budak yang dilakukan oleh Islam adalah delapan distribusi zakat yang salah satunya dialokasikan untuk pembebasan budak—wa fir riqab—(Qs. At-Taubah : 60).
Pembebasan budak dengan cara mukatab atau kitabah merupakan fenomena penebusan budak dengan sejumlah uang tertentu kepada majikannya (Qs. An-Nur : 33).
Istilah emansipasi wanita pada prinsipnya memberikan seluruh hak dasar manusia (Human Rights) kepada wanita seperti hak bicara, hak politik, hak hidup dan lainnya dengan tentu tidak keluar dari kodratnya.
Kemudian emansipasi wanita juga memiliki arti proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan ekonomi sosial yang rendah atau pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan wanita untuk berkembang dan maju. Hal ini merupakan kondisi yang dirasakan oleh Kartini dan banyak perempuan lain di jamannya.
Maka, Kartini dijadikan sebagai icon kemerdekaan berpikir bagi perempuan. Di tengah gemelutnya budaya, sistem dan tatanan sosial yang belum terbuka di eranya, dia mampu menembus batas-batas ruang, wilayah bahkan negara untuk menyuarakan hak-hak perempuan khususnya dalam hal pendidikan.
Sebelum disimbolkannya sosok Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita di Indonesia, banyak sosok-sosok perempuan yang selain memperjuangkan emansipasi juga telah bergerak dalam upaya untuk mengentaskan ketimpangan yang terjadi di masa penjajahan Belanda.
Mengutip tulisan Dr. Adian Husaini judulnya “Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah”, singkatnya penokohan Kartini merupakan upaya Belanda agar kiprahnya—selain menjajah juga berjasa dalam membangun Indonesia dari gerakan penokohan Kartini—tidak bisa lepas diceritakan dalam sejarah Indonesia. Padahal beberapa sejarawan menemukan pelopor-pelopor emansipasi wanita di Indonesia sebelum Kartini diakui.
Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan (Aceh, 1644-1675), dan Siti Aisyah We Tenriolle (Sulawesi Selatan, 1908) yang menurut Hasrsja W. Bahtiar harus masuk ke dalam catatan sejarah sebagai tokoh pahlawan ataupun emansipator wanita.
Kedua, sejawaran berikutnya Tiar Anwar Bahtiar yang mewacanakan sosok Dewi Sartika (Jawa Barat, 1884-1947) sebagai pejuang Pendidikan perempuan di Bandung sampai pada taraf mendirikan Sakola Kautamaan Istri (1910) hingga ke wilayah Jawa Barat lainnya.
Kemudian Rohana Kudus (1884-1972) selain kiprahnya dalam Pendidikan dengan mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), ia tercatat sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia dengan berinisiatif menyebarkan ide-ide dan gagasannya melalui koran-korana yang ia terbitkan sendiri mulai dari Sunting Melayu (Koto Gadang), Wanita Bergerak (Padang), Radio (Padang) dan Cahaya Sumatera (Medan).
Penulis menambahkan bahwa tahun 1929, Mathlaul Anwar pun melahirkan tiga sosok penggagas pendidikan / sekolah madrasah perempuan pertama di Banten yakni Nyi Siti Zainab dan kedua rekannya Nyi Kulsum dan Nyi Aisyah.
Dari sekian banyak tokoh pejuang emansipasi dan hak-hak perempuan, Kartini diuntungkan dengan peranan atau keterlibatan dari penjajahan Belanda saat itu sehingga ia berhasil menyuarakan isu-isu perjuangannya di jaringan level internasional. Maka, dampaknya ia menjadi sosok yang paling dikenang oleh publik.
Selanjutnya, tugas Kartini masa kini jangan kalah dan tidak boleh kendor dari para pejuang sebelumnya. Berkiprah dalam berbagai bidang sesuai dengan passion-nya, memperluas cakupan perjuangan isu-isu hak perempuan, berkontribusi untuk kemaslahatan umat dan yang paling minimal adalah melanjutkan perjuangan hak-hak yang telah diraih dan mempertahankannya sampai dirasakan oleh generasi masa depan.
Karena tantangan perempuan saat ini tidak hanya dituntut untuk memiliki kapasitas skala lokal dan nasional bahkan tantangannya secara global dan terbuka.
Jika diruntut mulai dari skala lokal, perempuan akan dihadapkan dengan isu-isu personal maupun sosial lingkungannya. Personalia perempuan dihantam dengan realita memenuhi kebutuhan-kebutuhan domestik yang masih hanya dibebankan kepadanya.
Mulai sejak masih dalam status anak, kemudian istri bahkan ibu. Tantangan tersebut diperparah dengan kondisi dilematis atau skala ganda (ganda scale) di lingkungan sosialnya yang juga membutuhkan tangan dan bahu untuk meringankan perjuangan perempuan lainnya.
Selanjutnya tantangan di skala nasional, perempuan terkadang masih dibenturkan dengan sistem baik secara hukum dan non hukum. Ruang gerak perempuan terkadang dalam beberapa isu masih dibatasi karena belum adanya peraturan yang menaungi itu (seperti isu-isu yang diperjuangkan dalam RUU PKS).
Terakhir di level internasional, tentu perempuan tidak hanya akan berhadapan dengan kepala orang-orang se-negara (yang notabene masih memiliki budaya dan adat yang tidak jauh berbeda), melainkan berhadapan dengan beragam cara pandang dan budaya yang berbeda dimana bisa jadi hal itu merupakan tantangan atau konsekuensi kiprah perempuan di level global.
Maka, baik-buruknya hasil perjuangan sangat berpegang pada komitmen dan Istiqomahnya perempuan dalam memulai dan mempertahankan perjuangannya di skala manapun ia berperan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Magister University Brunei Darussalam, Aktivis Perempuan, Ketua Umum Generasi Muda Putri (GEMAWATI) Mathlaul Anwar