TIRTAYASA.ID – Hari ini, bertepatan dengan 61 Tahun Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau dikenal PMII. Tak diragukan kiprahnya, melampaui berbagai persoalan perkembangan bangsa Indonesia. Berikut, catatan sejarahnya yang dirangkum dari berbagai sumber;
PMII adalah sebuah organisasi kemahasiswaan yang berdiri pada tanggal 17 April tahun 1960 di Surabaya. Adapun ketua umum pertama PMII bernama Mahbub Djunaidi. PMII lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman.
Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama’ah.
Ada beberapa latar belakang berdirinya PMII: Pertama; Karut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959. Kedua; Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada. Ketiga; Pisahnya NU dari Masyumi.
Kemudian, Keempat; Ketika PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno, Bung Karno meminta kepada NU untuk mendirikan oganisasi mahasiswa Islam yang ‘Indonesia’ maka berdirilah PMII.
Hal-hal tersebut di atas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU.
Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dengan berasaskan Pancasila.
Tujuan PMII sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar PMII BAB IV pasal 4 “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”.
Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional.
Selanjutnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis.
14 Juli 1972 melalui Mubes ke-III di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun terkenal dengan Deklarasi Murnajati. Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari paham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan.
Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain. Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakikat keduanya susah untuk direnggangkan.
Alumni
Kiprahnya yang lama dan tetap mengedepankan kaderisasi. Tak heran, banyak alumni PMII tersebar di berbagai bidang pengabdian setelah berproses. Mulai dari Akademisi, Politisi, Pengusaha, Menteri, Pimpinan Pondok Pesantren dan lain-lain.
Beberapa Eks Ketua Umum yang kini masih dikenal publik. Seperti, Mahbub Djunaidi, Surya Dharma Ali, Ali Maskur Musa, Muhaimin Iskandar, Nusron Wahid, Addin Jauharudin, Aminuddin Maruf dan Agus Herlambang. (red)