Oleh : Anisa Ulul Azmi
Berlalu sudah kasus pembunuhan di Kabupaten Lebak belum lama ini. Seorang anak perempuan KS (8) meregang nyawa ditangan orangtuanya sendiri. Musabab pelaku yang tak lain orangtua korban, nekad melakukan tindakan keji, karena korban yang merasa kesulitan untuk belajar daring (online).
Akhirnya gelap mata, memukul korban dengan tangan kosong dan gagang sapu hingga sang anak melakukan perlawanan sebelum meninggal oleh pelaku setelah merasa sudah puas menyiksa korban.
Kasus serupa terjadi di wilayah Sulawesi. Dimana seorang ibu tega menyiksa anaknya dengan menggunakan sebuah balok. Korban berinisial NJ (10), dalam video sempat viral di media sosial itu sang pelaku SF (34) marah dan sesekali memukul NJ dengan balok yang digenggamnya, hingga membuat tangan korban lebam.
Kasus di atas tidak pernah bisa dilupakan begitu saja. Coba sejenak melupa pada lupa yang tak seharusnya untuk dilupakan. Dimana kebebasan anak untuk belajar tenang? Kemana anak harus berlindung diri? Kepada siapa anak akan mengadu?
Seharusnya orangtua menjadi tempat berpulangnya kegelisahan dan ketidakbisanya anak. Bagaimana jika, predator anak itu orangtuanya? mereka mati ditangan orang yang disematkan syurga bagi seorang anak yang berbakti padanya.
Kini, semua bertolak belakang pada kedua peristiwa di atas. Mungkin bagi sebagian orangtua, anak ialah musuh? anak beban hidup mereka. Padahal, sudah sepatutnya itu menjadi kewajiban orangtua, mendidik, mengarahkan, memenuhi apapun yang dibutuhkan secara lahiriah seorang anak.
Mengapa mereka harus gelap mata menjadikan anak sebagai sasaran utama atas amarahnya? Sekolah Daring membawa petaka dan memutus hak hidup juga masa depan anak, bagaimana tidak? Mereka sang penerus bangsa ini kandas terpapas, ketenangan hidupnya karena kejahatan manusia yang bernama orangtua.
Tidak ada alasan bila itu buah hatinya berasumsi sesuka mereka mau diperlakukan seperti apapun juga. Kejahatan tetaplah kejahatan, baik kejahatan ringan maupun kejahatan berat.
Negara Indonesia tentunya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya Hak Asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Baik bersifat nasional maupun yang bersifat internasional.
Bagaimana dengan Undang-Undang tentang perlindungan anak? Sudahkah mencapai misinya sesuai yang tertera rapih pada baitan pasal dan ayat-ayatnya? Perlu dikaji kembali. Realitanya kesejahteraan anak mulai hilang, perlindungan anak mulai runtuh, kepercayaan Undang-Undang akan miris jika tak dipercayai lagi, tak bisa dijadikan topangan kuat oleh mereka yang berjuang mendapatkannya.
Anak tetaplah anak, baik buruk mereka bagaimana hasil dari edukasi dan dedikasi yang diterima. Jika sudah seperti ini, siapa yang akan disalahkan? Sistem Pendidikan yang telah membebani para orangtua dengan adanya Daring-kah?
Undang-Undang perlindungan Anak yang perlu diperbaiki-kah? Atau kurangnya edukasi terhadap orangtua, tentang bagaimana cara menjadi guru bagi anak selama sekolah Daring diterapkan? Ini pekerjaan rumah kita, jangan sampai menjadi lupa.
Anak ialah emas bagi bangsa, Anak ialah harapan bersama negara ini akan dibawa kemana? Jika bukan aku, kamu dan kita yang berkesempatan memimpin negeri ini tentunya ada mereka yang sekarang masih belia dan kita kenal itulah anak-anak.
Semangat adik-adikku, kalian hebat masih belia sudah berani hidup dikungkung musibah pandemi dengan harus tetap belajar secara daring. Aku yakin kalian sukses. Salam hangat dariku.
Jakarta, 22 September 2020
)* Penulis adalah mahasiswa Institut Sains & Teknologi Al Kamal dan Aktivis Keluarga Mahasiswa Lebak (KUMALA).