Oleh : Dandy Rahmat
Tanggal 6-8 Oktober 2020, buruh akan melakukan mogok kerja secara massal. Alasannya karena mereka menolak RUU Cipta Kerja. Namun sayangnya rencana mogok massal sekaligus demo tidak mendapat simpati. Karena dilakukan saat pandemi dan melanggar protokol kesehatan.
Rencana pemogokan para buruh dilaksanakan Oktober ini, karena untuk menentang omnibus law RUU Cipta Kerja yang rencananya akan diresmikan tanggal 8. Sebenarnya rencana ini sangat aneh, karena dua bulan lalu, belasan serikat pekerja sudah bertemu dengan Baleg DPR dan menyatakan sepakat dengan isi omnibus law. Bahkan mereka mendukungnya.
Namun ternyata ada rencana pemogokan secara besar-besaran, bahkan di seluruh Indonesia. Pemogokan tentu memusingkan karena dilaksanakan selama tiga hari. Bayangkan berapa banyak kerugian yang ditanggung oleh perusahaan? Sepantasnya buruh berpikir, jika perusahaan rugi maka mereka juga rugi karena bisa-bisa gaji dipotong untuk menutupinya.
Ada pula efek domino jika pemogokan dilakukan. Misalnya jika pegawai perusahaan listrik tidak mau bekerja sama sekali, Indonesia bisa gelap gulita. Nafsu pemogokan memang bisa terpuaskan, namun keluarga buruh yang ada di rumah bisa menangis karena tidak mendapat asupan listrik. Kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya merugi?
Dalam pasal 137 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 memang disebutkan para pekerja boleh melakukan mogok kerja. Namun bukan berarti mereka boleh mogok seenaknya. Walau sedang mogok kerja, harus dilakukan dengan cara perdamaian, tertib, dan sah. Jadi mereka tidak boleh mogok lalu berdemo sambil melakukan tindakan anarki karena terbawa emosi.
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani menyatakan, pemogokan untuk melawan omnibus law juga bisa disebut tidak sah. Karena syarat diperbolehkannya pemogokan adalah adanya ketidaksepakatan antara pekerja dengan pengusaha, karena ia tidak mau melakukan perundingan. Hal ini tercantum dalam Kepmenakertrans nomor 23 tahun 2003 pasal 3 dan 4.
Dalam kasus ini, agak membingungkan karena serikat pekerja awalnya sudah sepakat dengan omnibus law, namun belakangan menentangnya. Jika ada mogok massal yang disulut oleh mereka, maka jangan salahkan jika akhirnya dibubarkan. Karena melanggar peraturan yang disebutkan di atas.
Selain itu, alasan utama membubarkan mogok massal yang berujung unjuk rasa adalah kita masih dalam masa pandemi covid-19. Jangan menuruti emosi lalu asyik berdemo, lantas melanggar aturan jaga jarak. Jika ada kegiatan yang melanggar protokol kesehatan, maka akan segera ditegur oleh aparat.
Sebenarnya ada pihak yang kurang setuju jika mogok massal diadakan. Karena mereka tak mau bolos kerja hanya karena diajak demo. Membolos tentu menurunkan nilai seorang pekerja. Jika perusahaan kurang berkenan, ia bisa mendapat skorsing, karena dianggap melanggar aturan.
Selain itu, buruh yang digaji harian juga rugi. Karena saat tiga hari mogok massal, ia tak mendapat bayaran. Padahal di masa pandemi ini seharusnya kita lebih rajin bekerja demi berjaga-jaga untuk masa depan yang belum pasti. Namun malah seenaknya mogok karena tersulut emosi.
Alasan mereka untuk menolak omnibus law RUU Cipta Kerja juga dipertanyakan. Karena sejak beberapa bulan lalu, RUU ini sudah disosialisasikan oleh pemerintah. Klaster ketenagakerjaan juga direvisi, sehingga menguntungkan pekerja. Menteri tenaga kerja juga sudah menjelaskan pasal-pasalnya, jadi sebelah mana yang mau diprotes?
Jangan asal menolak lalu ikut mogok massal padahal belum membaca draft omnibus law RUU Cipta Kerja dengan teliti. Apalagi berteriak dan menganggap RUU ini menjajah buruh, karena salah interpretasi. Jam kerja sudah diatur maksimal 40 jam seminggu, selama 6 hari kerja. Jangan percaya pada hoax yang mengatakan jam kerja bisa dipanjangkan dengan hari kerja yang diperpendek.
)* Penulis aktif dalam Gerakan Mahasiswa (Gema) Jakarta