Oleh : Fabian Aditya Pratama
Perppu Cipta Kerja menghadirkan adanya kepastian dalam penjagaan keseimbangan akan perlindungan para buruh atau pekerja dan juga terus menjaga supaya keberlanjutan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha terus terjamin.
Pemerintah Republik Indonesia (RI) telah secara resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Kemudian menilik dalam konteks ketenagakerjaan, penerbitan Perppu tersebut merupakan sebuah bukti nyata dari bagaimana komitmen sangat kuat yang dimiliki oleh pemerintah untuk terus memberikan perlindungan kepada para tenaga kerja dan juga menjamin keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika dalam sektor ketenagakerjaan.
Terkait hal tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah menjelaskan bahwa substansi ketenagakerjaan yang sudah termuat dalam Perppu Cipta Kerja memang pada dasarnya adalah upaya penyempurnaan yang dilakukan oleh pemerintah dari regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Bukan tanpa alasan, pasalnya memang Pemerintah RI sendiri harus sesegera mungkin melakukan penyempurnaan akan substansi mengenai ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker sebelumnya lantaran telah dianggap berstatus inkonstitusional bersyarat sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menuntut supaya segera dilakukan perbaikan.
Beberapa aspek substansi ketenagakerjaan yang telah disempurnakan dan termaktub di dalam Perppu Cipta Kerja tersebut yakni pertama adalah mengenai ketentuan alih daya (outsourcing), yang mana dalam UU Ciptaker sebelumnya sama sekali tidak diatur adanya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Sedangkan jika menilik Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini, jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan dibatasi.
Menaker Ida Fauziyah kemudian menerangkan bahwa dengan adanya pengaturan tersebut, maka tidak lantas semua jenis pekerjaan langsung dapat diserahkan kepada pihak perusahaan outsourcing. Sehingga nantinya jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui peraturan pemerintah.
Kedua, yakni terkait adanya penyempurnaan dan penyesuaian pada penghitungan jumlah upah mininum. Dalam Perppu Cipta Kerja, upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan banyak hal yakni pertmbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Sehingga formula akan penghitungan upah minimum tersebut termasuk indeks tertentu itu akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP) juga.
Bahkan dalam Perppu Cipta Kerja juga telah ditegaskan bahwa gubernur wajib untuk menetapkan upah minimum provinsi (UMP) serta dapat menetapkan upah mininum (UMK) apabila memang hasil penghitungan UMK tersebutu ternyata lebih tinggi daripada hasil penghitungan UMP.
Selanjutnya, adanya penegasan kewajiban untuk menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk para pekerja atau buruh yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih. Kemudian terkait dengan penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sehingga, dalam Perppu Cipta Kerja benar-benar mampu melindungi seluruh lapisan pekerja termasuk para penyandang disabilitas. Kewajiban akan perlindungan tersebut tertuang dalam halaman 547, yakni pada Pasal 67 ayat (1) yang menyebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindunagn sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan.
Perbaikan selanjutnya adalah merujuk dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait dengan manfaat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan untuk para buruh. Menaker sendiri juga menjelaskan bahwa seluruh perubahan terkait substansi ketenagakerjaan itu mengacu pada hasil penyerapan aspirasi terkait UU Ciptaker sebelumnya yang telah dilakukan oleh pemerintah di berbagai daerah di Indonesia bersama dengan dilakukannya kajian oleh berbagai lembaga independen.
Sementara itu, mengenai substansi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos), Indah Anggoro Putri menjelaskan bahwa Perppu tersebut mengamanatkan untuk adanya pengaturan lebih lanjut mengenai periode waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam revisi PP 35/2021.
Disebutkan pula dalam Perppu Cipta Kerja bahwa ada dua jenis PKWT, yakni PKWT berdasarkan jangka waktu, yang mana jangka waktunya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan maksimal lima tahun. Kemudian ada pula PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Dengan demikian, tidak ada ketentuan PKWT bisa diberlakukan secara terus-menerus sampai seumut hidup. Dijen Indah Anggoro Putri melanjutkan bahwa jangka waktu tersebut ditetapkan harus berdasarkan kepsekatan kedua belah pihak, yakni antara pihak manajemen perusahaan dan juga pekerja sendiri dan dalam PKWT tersebut juga harus disebut ruang lingkup selesainya pekerjaan.
Jelas sekali bahwa keseimbangan perlindungan para pekerja atau buruh sangat dijamin dalam Perppu Cipta Kerja ini bahkan dari berbagai macam aspeknya termasuk juga kepada para pekerja penyandang disabilitas. Bukan hanya itu, namun di dalam aturan yang diresmikan oleh Presiden Jokowi ini menjaga pula adanya keberlanjutan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku dunia usaha.
*) Penulis adalah Kontributor Nawasena Institute