Oleh : Dian Ahadi
Sejumlah investor asing seperti Nestle berupaya memperluas usahanya di Indonesia. Komitmen ini menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi negara yang ramah investasi.
Bahlil Lahadalia selaku Menteri investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKKPM) menyambut baik atas rencana Nestle untuk mendirikan pabrik barunya di Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.
Rencana tersebut disampaikan langsung oleh Magdi Batato selaku Head of Operations Nestle kepada Bahlil saat dirinya melakukan kunjugan kerja ke Davos, Swiss.
Bahlil juga menyampaikan komitmennya untuk memfasilitasi pengembangan usaha Nestle di Indonesia. Selain itu, dirinya juga memberikan apresiasi terhadap Nestle atas rencana kolaborasinya dengan petani dan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) lokal.
Dalam keterangan tertulisnya, Bahlil mengaku bahwa pihaknya akan mendukung Nestle yang tengah membangun Pabrik keempatnya yang berlokasi di Batang Industrial Park (BIP) dalam rangka peningkatan kapasitas pabrik sebesar 25 persen atau 775.000 ton senilai CHF 220 juta.
Dirinya juga mengatakan, dorongan pembangunan pabrik tersebut dapat mendorong kerjasama pelaku UMKM serta mendorong lapangan kerja seperti yang telah dilakukan saat ini yaitu bermitra dengan 20.000 petani lokal untuk pabriknya di Jawa Timur.
Sementara itu, Head of Operations Nestle Magdi Batato menyampaikan apresiasinya terhadap Kementerian Investasi/BKPM agar dapat terus bekerja sama.
Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Riyatno mengatakan, perkembangan realisasi investasi mencapai Rp. 826,3 triliun di tahun 2020. Ini mencapai 101,1 persen dari target Rp 817,2 triliun.
Dari realisasi tersebut, yang menarik adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menunjukkan keseimbangan dengan Penanaman Modal Asing (PMA).
Berdasarkan data BKPM, PMDN mencapai 50,1 persen atau Rp 413,5 triliun, sedangkan PMA 49,9 persen atau Rp 412,8 triliun.
Berdasarkan data kementerian investasi, negara asal PMA terbesar sepanjang 2021 adalah singapura dengan realisasi USD 9.4 miliar, disusul Hong Kong sebesar USD 4,6 miliar, Tiongkok sebesar USD 4,6 miliar, Tiongkok USD 3,2 miliar, serta AS sebesar USD 2,5 miliar.
Per Desember 2021, BEI mencatat ada 766 perusahaan tercatat dan 123 perusahaan tercatat obligasi dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp. 8.255,6 triliun.
Sementara IHSG pada penutupan tahun 2021 mencapai 6,581.5 dengan rata-rata perdagangan saham harian mencapai Rp 13,4 triliun. Angka tersebut tentu saja lebih tinggi dibandingkan pada saat sebelum pandemi, sehingga bisa dibilang perekonomian Indonesia sudah menunjukkan recovery.
Sementara itu Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pemerintah telah menyiapkan berbagai regulasi untuk mendukung transformasi ekonomi Indonesia, terutama di bidang investasi.
Dari sisi regulasi, Luhut mengatakan pemerintah telah menyiapkan berbagai aturan untuk mendongkrak investasi di dalam negeri. Salah satunya dengan menerbitkan UU Cipta Kerja. Implementasi UU Cipta Kerja ini akan memudahkan investasi dengan perizinan yang berbasis risiko.
Hal tersebut bertujuan agar Indonesia bisa menjaga iklim investasi menjadi lebih baik, demi terwujudnya Indonesia sebagai negara yang ramah terhadap investor.
Selain itu, pemerintah juga akan terus menyiapkan skema insentif untuk menarik investasi baik dari pemodal dalam negeri maupun luar negeri (asing).
Insentif yang ditawarkan tersebut antara lain, pengurangan pajak penghasilan, kemudahan perizinan dan insentif pembangunan kawasan industri.
Upaya tersebut memiliki tujan agar Investasi asing di Indonesia tidak jalan di tempat, tetapi juga bisa meluas hingga dapat menggerakkan sendi-sendi perekonomian di seluruh negara.
Hal ini menunjukkan bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang ramah untuk investasi.
Meningkatnya arus investasi ini merupakan dampak dari upaya pemerintah dalam mengatur proses investasi dan perizinan usaha agar tidak berbelit-belit. (*)
)* Penulis adalah Kontributor Nusa Bangsa Institute