Oleh : Muhammad Yasin
Kelompok radikal dan intoleran seringkali membenarkan tindakannya dengan motif agama, sehingga sangat merugikan agama tersebut. Oleh sebab itu diperlukan penguatan peran pemuka agama sebagai salah satu kunci untuk menangkal paham intoleransi dan radikalisme.
Pemuka Agama merupakan tokoh yang menjadi panutan sebagian besar masyarakat, sehingga siapapun yang dianggap sebagai pemuka agama haruslah dapat memberikan contoh dan teladan yang baik untuk masyarakat.
Dalam kesempatan pengukuhan pengurus MUI Bondowoso, Bupati Bondowoso Drs. KH. Salwa Arifin berharap kepada para pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bondowoso agar lebih getol lagi dalam memberikan pembinaan kepada masyarakat terkait masalah paham radikalisme itu seperti apa.
Bupati Bondowoso Drs.K.H. Salwa Arifin pun menginginkan MUI Bondowoso agar segera melakukan tugas pokok dan fungsinya yakni dalam bidang pemberian sertifikat halal pada produk makanan dan minuman serta lain sebagainya.
Sementara itu, Ketua MUI Bondowoso, KH Asy’ari Fasya mengaku adanya paham radikal dan intoleransi itu terjadi di seluruh Indonesia, bukan hanya di Bondowoso saja. Akan tetapi dirinya mengatakan bahwa pihaknya telah mengantisipasi gerakan atau paham semacam itu agar tidak berkembang. Yakni dengan duduk bersama tokoh agama, tokoh masyarakat dan lainnya.
Tak hanya itu, dalam mengantisipasi pihaknya juga akan turun langsung kepada masyarakat, sekolah-sekolah dan juga Pondok Pesantren di Bumi Ki Ronggo ini untuk dapat memberikan pembinaan.
Sebelumnya, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, cara ampuh untuk menangkal ideologi radikal yakni dengan langkah preventif. Menurutnya, perlu adanya pemberian paham keagamaan yang sesungguhnya oleh pemuka agama dan terutama keluarga agar seseorang tidak tersesat cara berpikirnya.
Dirinya juga mengatakan, jangan sampai di era globalisasi ini, keluarga Indonesia disusupi paham yang bertentangan dengan ideologi bangsa. Sehingga, menurut dia, kekuatan pemahaman agama di lingkungan keluarga harus diperkuat. Lukman mengatakan, pada hakikatnya ajaran agama adalah untuk mensejahterakan manusia, bukan untuk saling menumpahkan darah.
Lukman menilai, perlu adanya komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa untuk memerangi terorisme. Terutama dari mereka yang memiliki basis keagamaan.
Sementara itu, Habib Lutfi selaku Watimpres mengatakan lunturnya jiwa nasionalisme menjadi salah satu alasan maraknya radikalisme di kalangan milenial. Tentu tantangan ini tidak hanya menjadi tugas MUI atau BNPT saja, melainkan perlu kepedulian dari seluruh lapisan masyarakat dalam membangun kualitas generasi muda agar ideologi yang bertentangan dengan konsensus bangsa tidak mudah tersusup.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. R Ahmad Nurwakhid dalam acara Muhasabah BNPT RI dengan Gugus Tugas Pemuka Agama BNPT RI dalam rangka pencegahan paham radikal terorisme bersama tokoh ormas keagamaan yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dan Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) yang berlangsung di Sekretariat LPOI-LPOK.
Nurwakhid mengatakan radikalisme menunjukkan adanya krisis spiritualisme. Untuk itu, masalah radikalisme dan intoleransi merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan elemen bangsa ini. Dirinya meminta agar tokoh agama senantiasa memiliki sikap yang terpuji agar bisa menjadi teladan bagi para pengikutnya.
Nurwakhid mengatakan, agar pemuka agama perlu menyampaikan kepada umat bahwa semua aksi radikalisme dan terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun tetapi terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang menyimpang.
Ia juga mengatakan, aksi radikalisme dan terorisme hanya akan menimbulkan perpecahan antar sesama anak bangsa. Apalagi aksi tersebut bertentangan dengan nilai dan prinsip agama yaang menjaga persatuan, perdamaian dan rahmatan lil ‘alamin.
Masyarakat juga perlu memahami bahwa aksi radikal serta intoleransi hanya akan menimbulkan perpedahan antar sesama dan juga menjadi musuh negara. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan konsensus atau perjanjian bangsa ini, yakni Pancasila yang telah sah menjadi ideologi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat serta generasi muda di Indonesia memerlukan keteladanan dari para pemuka agama. Pemuka agama yang kerap menyuarakan kebencian, mengkafirkan hingga menganggap bahwa Pancasila adalah thagut tentu saja harus menjadi perhatian bagi aparat untuk memberikan tindak lanjut, jangan sampai ceramah yang bernada provokatif akan berdampak pada rusaknya hubungan antar masyarakat di Indonesia.
)* Penulis adalah Kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini