Oleh : Aulia Hawa
Moderasi beragama tentu sangat diperlukan untuk negara yang bhineka seperti Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan optimalisasi peran pemuka agama untuk menggencarkan moderasi beragama.
Sepanjang tahun 2021, pemerintah telah menemukan sebanyak 27 PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang terbukti melakukan tindakan radikalisme. Padahal sudah jelas bahwa PNS dilarang keras terlibat dalam tindakan radikalisme baik di media sosial, maupun di kegiatan lainnya.
Tony Surya Putra selaku staf khusus Menteri PAN-RB (Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi) menyatakan tindakan radikalisme merupakan sikap-sikap intoleransi, anti Pancasila sehingga anti terhadap persatuan NKRI.
Dalam kanal youtube Kementerian PAN-RB, dirinya menjelaskan, kelompok yang menganut radikalisme adalah yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi yang diyakini paling benar, sehingga dianggap orang-orang yang tidak mengikuti ideologinya dimasukkan dalam golonga orang-orang yang kafir.
Ia pun menghimbau agar ASN harus bisa memilah pergaulan, baik di lingkungan kantor hingga tempat tinggal agar terhindari dari paham radikalisme.
ASN juga jangan mudah terpancing dengan pemberitaan di media sosial yang hanya bertujuan memprovokasi supaya anti Pancasila atau anti NKRI. Dirinya berujar, apabila ada postingan di medsos yang mengandung ujaran kebencian, haruslah dihindari, cukup dibaca dan jangan di-like atau di-share.
Terdapat 3 surat edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo agar ASN terhindar dari paham radikal. Pertama SE MenPan-RB Nomor 137 tahun 2018 tentang penyebarluasn informasi melalui media sosial.
Ada kentuan yang diatur, bahwa media sosial harus memegang teguh ideologi Pancasila, UUD 1945, mengabdi kepada negara profesional dan tidak berpihak, memelihara dan menjunjung tinggi standar etika, nilai dasar reputasi dan integritas.
Kedua, SE Nomor 2 2021 yang melarang ASN untuk berafiliasi dengan organisasi terlarang atau organisasi yang sudah dinyatakan bubar oleh pemerintah. Terakhir, SE mengenai pengelolaan tempat ibadah di kantor di K/L atau Pemerintah Daerah.
Sehingga seluruh tempat ibadah seperti masjid dan tempat ibadah non muslim lainnya, seluruh penceramahnya yang mengisi kegiatan disarankan dari internal ASN, kalaupun dari luar harus selektif.
Jika merujuk pada memori pasca Orde Baru, bangsa Indonesia juga memasuki babak baru, yakni babak di mana kebebasan semakin kuat, kran kebebasan seakan menjelma menjadi kebebasan tanpa batas. Kebebasan tersebut justru menjadi kekuatan radikalis baik yang berhaluan kiri maupun kanan.
Saat itu Wahabisme tiba-tiba meluber, dimulai dari kampus-kampus yang berpusat di masjid-masjid kampus, bahkan pembinaan radikalisme penyelewengan tafsir agama dan cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia.
Gerakan dari kaum radikalis terus berupaya mendelagitimasi pemerintahan Joko Widodo. Hasut dan hoax adalah menu hariannya dengan kemasan agama. Mereka seakan hendak membangun narasi seolah-olah pemerintahan Joko Widodo memusuhi Islam dan Ulama.
Padahal seperti yang kita tahu, wakil presiden RI adalah seorang ulama yang pernah menjabat sebagai pemimpin tertinggi di NU yang sudah jelas merepresentasikan nilai-nilai keislaman.
Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa persoalan intoleransi yang terjadi di Indonesia masih menjadi permasalahan yang serius.
Adanya potensi benturan, konflik dan kekerasan yang bernuansakan perbedaan primordial masih cukup tinggi baik secara luring maupun daring. Di tahun 2022 ini, sudah saatnya bangsa ini menyudahi konflik antar suku, agama apapun yang berbeda berbalut intoleransi.
Apalagi kalangan PNS sebagai abdi negara tentu saja harus menunjukkan keteladanan bagi masyarakat luas untuk tidak mudah terprovokasi oleh paham radikal maupun intoleransi.
Kepala Biro Hukum, Komunikasi dan informasi Publik Kementerian PAN-RB Mohammad Averrouce mengatakan sanksi untuk PNS radikal merujuk pada peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 94 Tahun 2021 tentang disiplin pegawai negeri sipil.
Hukuman paling ringan adalah teguran baik secara lisan, tertulis maupun pernyataan tidak puas secara tertulis. Sedangkan hukuman disiplin sedang terdiri dari pemotongan tunjangan sebesar 25% selama 6 bulan.
Terakhir, jenis hukuman disiplin berat terdiri atas penurunan jabatan setidaknya lebih rendah selama 12 bulan, pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan dan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri.
Untuk itu pemuka agama memiliki peran penting agar moderasi beragama dapat terwujud, sehingga masyarakat Indonesia bisa hidup lebih damai tanpa adanya ancaman aksi intoleran.
*) Penulis adalah Kontributor Pertiwi Institute