Oleh: Dr. Efi Afifi
Setiap tanggal 28 Oktober, dimana merupakan perayaaan Hari Sumpah Pemuda, para pemuda Indonesia beramai-ramai merayakannya, membuat status di media sosial dan sejenisnya. 28 Oktober, mengingatkan kita akan memori kolektif Bangsa Indonesia mengenai kehebatan pemuda kala itu yang bersatu, menjadi pahlawan bagi negara, menginisiasi lahirnya Republik ini.
Sumpah Pemuda sebagai bukti menyejarah bahwa pemuda Indonesia saat itu, dapat menghilangkan keangkuhan ego-ego lokal. Bagaimana tidak, organisasi lokal seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java, Jong Soematranen, dan Jong Islamieten Bond, menggerakkan terjadi Kongres Pemuda.
Melalui Kongres Pemuda inilah yang melahirkan semangat Nasionalisme yang murni dan tulus dari para pemuda Bangsa, dimana komitmen Pemuda untuk bertumpah darah satu, berbangsa satu dan berbahasa satu.
Merujuk situs Kemdikbud, seperti inilah isi putusan Sumpah Pemuda ; Pertama, kami putera-puteri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, kami putera-puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga, kami putera-puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Saat ini, di era yang jauh berbeda dengan pemuda 1928, kita dihadapkan dalam tantangan yang beragam, yakni melesatnya perkembangan dunia digital. Kehadiran internet dan kehidupan digital adalah konsekuensi dari globalisasi dan modernisasi ini. Internet dapat memunculkan jenis interaksi sosial baru yang berbeda dengan interaksi sosial sebelumnya.
Jika pada masa lalu, masyarakat berinteraksi secara face to face (tatap muka), maka dewasa ini masyarakat berinteraksi di dalam dunia maya atau melalui interaksi sosial online. Interaksi model baru ini, khususnya dikalangan pemuda atau kaum milenial hari ini, mengahdirkan banyak dampak positif yang juga menyisakan ragam persoalan baru terhadap pemuda kita.
Pemuda hari ini yang tidak bisa dilepaskan dengan smartphone, menjadikan informasi yang ada di media digital sebagai sumber utama dalam pemahamannya tentang sesuatu hal, inilah dampak dari era digital ini.
Menurut Piliang di era masyarakat pasca-industri, perkembangan teknologi cyberspace telah melahirkan berbagai perubahan dan setidaknya terdapat tiga tingkat pengaruh : (1) tingkat individual (personal); (2) tingkat antar-individual (inter-personal); dan (3) tingkat masyarakat (social). Pertama, pada tingkat individu, cyberspace telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman kita tentang identitas (Piliang;65).
Kedua, pada tingkat interaksi sosial, kehadiran cyberspace telah melahirkan semacam deteritorialisasi sosial, artinya interaksi sosial tidak dilakukan di dalam suatu ruang territorial yang nyata, tetapi di dalam suatu halusinasi territorial: seseorang bisa saja terasa sangat intim dengan orang lain di dunia maya yang ada di belahan dunia lain tanpa pernah sekalipun ketemu, ketimbang saudara kandung atau tetangganya sendiri.
Ketiga, pada tingkat komunitas, kehadiran cyberspace dapat menciptakan suatu model komunitas demokratik dan terbuka. Di sisi lain, di dunia maya juga tidak terhindarkan munculnya semacam demokrasi radikal, yang di dalamnya ide, gagasan, ekspresi, hasrat, keinginan, tuntutan, kritik, usulan, dan segala bentuk tindakan sosial yang datang dari masyarakat sipil tidak ada yang mengatur, mengontrol, dan memberi penilaian.
Berangkat dari penjelasan mengenai dampak dunia digital tersebut, maka hal yang sangat urgen untuk meningkatkan kualitas literasi media di era digital ini bagi kaum muda. Jangan sampai, media sosial sebagai bagian dari komunikasi virtual di dunia maya, dengan serta merta merusak tatanan persatuan kaum muda bahkan menjadi sumber perpecahan.
Bertia Hoax yang berseliweran di media sosial, penting diantisipasi, sehingga dengan semangat literasi media, pemuda dibekali pengetahuan yang cukup bahkan sikap kritis dalam mencermati informasi yang beredar di media. Dalam disertasi saya sebagai syarat kelulusan sebagai doctor studi agama, saya melakukan peneltian mengenai media sosial dan wacana keagamaan kaum muda (milenial).
Saya menemukan, bahwa media sosial menjadi sarana utama bagi kaum muslim milenial dalam mencari rujukan ilmu keagamaan. Maka, tokoh-tokoh keagamaan yang memiliki jumlah followers yang banyak, dengan serta merta menjadi rujukan kaum milenial di media sosial. Dan tidak jarang, tokoh-tokoh keagamaan atau ustadz viral di media sosial tersebut, bertentangan dengan pemahaman Islam di kehidupan lokal kaum milenial tersebut.
Alhasil, konflik sosial baik dalam skala kecil maupun skala besar bisa saja terjadi. Belum lagi tayangan hiburan di media, baik media konvensional (TV) maupun media sosial (Youtube), tidak semua layak, sehat dan maslahat dikonsumsi oleh setiap kalangan. Banyak kasus kriminal seperti pelecehan seksual, pembunuhan dan tindakan kriminal lainnya yang disebabkan pengaruh media.
Oleh karena itu, literasi media menjadi kunci utama, sehingga media menjadi sumber energi positif pembangunan bangsa. Literasi media adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekontruksi pencitraan media. Dengan literasi media ini, kaum muda khususnya akan dibekali pengetahuan yang cukup mengenai informasi di media, latar belakang informasi tersebut, dikelola oleh siapa informasi tersebut serta bijak memahami informasi tersebut sesuai dengan kondisi dan keadaan.
Dengan begitu, media baik konvensional seperti televise dan radion maupun media digital (media sosial) akan menjadi ruang belajar bagi kaum muda secara kritis dan proporsional. Sehingga, media-media tersbut akan mampu mengembangkan potensi anak bangsa. Intinya, literasi media harus terus kita kampanyekan untuk cerdas bermedia, menciptakan iklim penyiaran di Indonesia (khususnya di Banten) yang layak, sehat dan maslahat.
Dalam memperkuat literasi media tersebut, maka bagi penulis perlu kiranya literasi media ini menjadi gerakan semesta. Artinya, semua pihak, baik pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat bahu membahu bersama-sama untuk menguatkan literasi media sebagai pilar cerdas menggunakan media.
Semua institusi dan kelembagaan pendidikan serta para ahli media harus dilibatkan dalam gerakan literasi media ini, sehingga media yang berkembang ramah terhadap kearifan lokal, moral agama dan pengembangan kehidupan sosial masyarakat kita.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diamanahi Undang-Undang No 32 Tahun 2002 sebagai lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenanganya diatur dalam Undang-Undang sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran, menjadi lembaga yang berada di garda terdepan menguatkan literasi media di masyarakat.
KPID Banten tentu perlu berbenah, menyiapkan sumber daya untuk menguatkan kordinasi dan kerjasama dengan semua pihak dalam penguatan media ini. Pihak Intitusi pendidikan seperti kampus dan sekolah, pihak agamawan seperti MUI, DMI, NU, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Alkhairiyah dan ormas Islam lainnya, serta pihak pemerintah, harus terlibat dalam gerakan semesta penguatan literasi media ini. Kecerdasan masyarakat menggunakan media, menjadi kunci yang akan melahirkan pengembangan disegala sektor kehidupan, dan ini tanggung jawab kita bersama. (*)