Oleh: Agus Hiplunudin
Arah baru demokrasi Indonesia dimulai ketika para mahasiswa berorasi secara lantang menentang kekuasaan otoriterianisme Orde Baru, kala itu terjadi pada penghujung tahun 1997 dan paruh tahun 1998, ditandai oleh demonstrasi besar-besaran hingga pendudukan gedung DPR RI/ MPR RI Senayan, Jakakarta, oleh para aktivis—hingga berujung pada pengunduran diri Jenderal Besar Soeharto pada bulan Mei. Semangat inilah yang semestinya kita jaga hingga hari ini, jelas teramati gairah reformasi menuntut adanya pemerintahan yang demokrasi seratus persen.
Ada beberapa catatan yang harus saya ulas dari tulisan pendek ini, 1) Oligarki politik yang masih bercokol di bumi Indonesia dan merembas ke daerah-daerah, 2) Politik Sengkuni, menjadi trand politik untuk menopang oligarki politik yang bercirikan politik kekerabatan.
Oligarki politik dalam terminologi politik sering dipertentangkan dengan aristokrasi politik; oligarki politik diidentikkan dengan pemerintahan yang dipegang oleh segelintir orang dimana orang-orang tersebut dalam menjalankan roda pemerintahan tidaklah dibimbing oleh kebijaksanaan namun dibimbing oleh keserakahan belaka, sehingga keadilan sosial hanya terjadi dalam mimpi belaka.
Lain halnya dengan politik aristokrasi, diidentikkan dengan segelintir orang yang menjalankan kekuasaan yang digerakan oleh kehormatan dan kebijaksanaan maka di tangan mereka keadilam memiliki kemungkinan untuk terwujud dalam masyarakat.
Pada kenyataannya oligarki politik ini memiliki berbagai variasi, namun secara umum oligarki politik dapat diidentifikasi melalui sistem kekuasaan yang menjurus pada politik kekerabatan atau yang lazim disebut sebagai “politik dinasti” atau dinasti politik.
Ada hal yang menarik dari judul tulisan ini yaitu mengenai “Sengkuni” ia merupakan salah satu tokoh pewayangan yang memiliki ide-ide mengenai politik kekerabatan tersebut.Sengkuni merupakan pamannya 100 Kurawa, Sengkuni juga secara kekuasaan sebagai patih kerajaan Hastinapura mendampingi Prabu Duryudana (sulung para Kurawa). Sebagai paman, Sengkuni tentu saja berkehendak keponakan-keponakannya duduk sebagai penguasa di Hastinapura.
Namun, justru ambisi-ambisi Sengkuni itulah yang membuahkan hancurnya ke-100 Kurawa dengan meletusnya perang Baratayudha yang menewaskan ke-100 Kurawa tersebut. Maka, dapat ditarik benang merah bahwasanya ide-ide politik kekerabatan Sengkuni telah menghancurkan keluarganya sendiri, bahkan mengorbankan rakyat yang tidak tahu apa-apa mengenai struktur kekuasaan.
Jika kita sambungkan dengan fenomena demokrasi lokal di Indonesia, politik kekerabatan inilah yang menjadi trand, bahkan jika dikaji; fenomena calon tunggal, fenomena istri mantan bupati jadi bupati, anak bupati jadi bupati, dan banyak lagi contoh lainnya yang memang mengindikasikan bahwa politik kekerabatan (melahirkan oligarki politik).
Namun, harus saya klarifikasi di sini, tidak ada aturan secara hukum atas pelarangan politik kekerabatan itu, lagi pula pada kondisi tertentu politik kekerabatan tidaklah menjadi masalah selama yang diberi mandat (secara kekerabatan) tersebut memiliki kecakapan dalam memimpin, memilki kebijaksanaan dalam menjalankan kekuasaan. Politik kekerabatan akan menemui kehancuran jikalau membidani lahirnya oligarki politik dan memakai intrik Sengkuni dalam mempertahankan kekuasaan.
Lebak, 25 Agustus 2020
* Penulis lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten serta telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kini penulis bergiat sebagai staf pengajar mata kuliah Sistem Politik Indonesia STIA Banten, adapun buku yang telah diterbitkan yakni: Politik Gender 2017, Calpulis: Yogyakarta, Politik Identitas di Indonesia dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi 2017, Calpulis: Yogyakarta, Politik Era Digital 2019, Suluh Media: Yogyakarta, Filsafat Politik Plato dan Ariestoteles 2019, Suluh Media, Yogyakarta, Pandawa Kurawa, 2020, Manggu: Bandung.