Oleh : Aditya Anggara
Pemilihan Umum (Pemilu) seringkali menjadi periode sensitif di mana radikalisme dan ekstremisme dapat kembali muncul. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan pendapat politik, ketegangan sosial, dan perasaan ketidakpuasan yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal. Sehingga masyarakat harus tetap waspada terhadap gerakan radikalisme menjelang pemilu 2024 tersebut.
Pelaksanaan pemilu adalah saat-saat penting dalam kehidupan demokrasi suatu negara, dan gerakan radikalisme dapat mengancam stabilitas politik, toleransi, dan juga keamanan.
Radikalisme di ruang digital dapat mengacu pada penyebaran ideologi radikal, berita palsu (hoaks), retorika berbahaya, atau tindakan ekstremisme melalui platform online seperti media sosial, situs web, dan aplikasi pesan.
Sehingga penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya radikalisme di ruang digital, serta melakukan kampanye edukasi yang efektif dapat membantu individu memahami cara mengidentifikasi konten berbahaya dan memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya.
Jelang Pemilu 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akan menjaga ruang digital agar pemilu serentak 2024 berlangsung bersih dari berbagai informasi hoaks dan radikalisme.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi mengatakan pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk melakukan langkah pencegahan dan penanganan hoaks, disinformasi, dan juga radikalisme di ruang digital.
Menurutnya, esensi pelaksanaan pemilu adalah menyatukan sesama anak bangsa dan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, semua pihak memiliki peran untuk menjaga ruang digital yang aman dan sehat.
Selain itu, pihak Kemenkominfo telah memutus akses terhadap ratusan akun dan konten di ruang digital yang terindikasi memuat aktivitas indoktrinasi maupun radikalisme. Pemutusan akses terhadap konten-konten tersebut dilakukan untuk mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 yang aman dan damai.
Menkominfo tidak tebang pilih terhadap situs yang berpotensi dapat memecah belah bangsa terutama menjelang Pemilu 2024 untuk segera diblokir. Langkah tersebut merupakan langkah antisipasi agar pelaksanaan pemilu dapat berjalan dengan kondusif.
Saat ini, dunia digital bukan sekedar sebuah platform internet, melainkan sebuah meta realitas, yaitu realitas baru dimana setiap orang menggantungkan seluruh aktivitasnya kedalam jaringan internet dan digital. Dalam dunia meta realitas tersebutlah, kelompok radikal dan teroris menyebarkan propaganda, penyebaran fitnah, hoax, ujaran kebencian dan permusuhan.
Sehingga dalam kondisi kekacauan informasi tersebut, dapat menjadi kesempatan dan momentum bagi kelompok radikal dan teroris untuk melancarkan agitasi dan propaganda serta teror untuk mengganggu stabilitas keamanan suatu negara.
Aksi teror digital tersebut dilakukan dalam berbagai tujuan, yaitu ekonomi, ideologis, dan politik. Secara politik, kejahatan digital ini dilakukan dalam rangka untuk mendelegitimasi terhadap kelompok politik tertentu, mendelegitimasi konstitusi dan aparat penegak hukum, serta mendelegitimasi pemerintah dan hasil demokrasi yang konstitusional.
Selain itu, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Sub-Direktorat Kontra Naratif Direktorat Pencegahan di Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana mengatakan media digital menjadi sarana penyebaran narasi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dengan berbagai tujuan, mulai dari rekrutmen, propaganda, pemecahan masyarakat, serta dukungan terhadap paham terorisme.
Identifikasi narasi-narasi semacam itu bisa dilakukan dengan memahami konteks narasi yang disebarkan dan menganalisis apakah konten tersebut memiliki potensi destruktif dan mengarah pada ajakan mengesampingkan Pancasila dan melanggar hukum di Indonesia.
Kelompok radikal atau aktor asing dapat memanfaatkan media sosial dan platform online untuk menyebarkan hoaks, berita palsu, dan propaganda yang dirancang untuk mempengaruhi pemilih dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu. Selain itu, kelompok radikal akan berupaya untuk mengintimidasi pemilih atau kandidat yang mungkin tidak sejalan dengan pandangan mereka, sehingga kelompok radikal dapat terlibat dalam tindakan kekerasan, ancaman, atau kampanye intimidasi.
Adanya ancaman radikalisme jelang Pemilu 2024 tersebut, pihak berwenang harus bekerja sama dengan penyedia platform online seperti Facebook, Twitter, dan YouTube untuk menghapus konten radikal, akun yang mendukung radikalisme, melakukan identifikasi dan menghentikan kampanye disinformasi.
Serta memperkuat kerangka hukum untuk menghadapi radikalisme di ruang digital, termasuk Undang-Undang yang mengatur penggunaan media sosial, sanksi bagi pelaku radikalisme, dan peraturan perlindungan privasi.
Upaya penangkalan konten radikalisme, terorisme maupun hoaks dilakukan untuk memastikan berlangsungnya Pemilu yang produktif dan sehat bagi masyarakat Indonesia. Selain itu kewaspadaan masyarakat terhadap konten-konten radikalisme juga harus ditingkatkan, karena apabila tidak, masyarakat dapat terpengaruh sehingga berdampak pada kehidupan sosialnya.
Pemilu merupakan waktu yang krusial untuk menjaga stabilitas negara dan memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap radikalisme di ruang digital adalah suatu keharusan, dan upaya kolaboratif dari berbagai pihak adalah kunci untuk mencegah penyebaran ideologi radikal serta memastikan pemilu yang adil dan aman. (*)
*) Penulis adalah Pengamat Politik Dalam Negeri