Oleh: Ken Supriyono*
Keberlanjutan wayang garing sangat bergantung generasi pelanjutnya. Jika tidak ada, kita hanya akan menyesali tak dapat lagi menyaksikan. Wayang garing sebagai warisan budaya Serang-Banten hanya sekadar cerita.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Hanya ada Ki Kajali, seorang diri yang menjadi dalang wayang garing di Serang-Banten. Sementara, anak-anaknya—yang dianggap sebagai pelanjut—, tidak memiliki motivasi seperti Ki Kajali.
Alasannya, tentu banyak hal. Satu di antaranya, karena tidak menguntungkan secara materi/ekonomi. Dalih itu karena melihat kehidupan Ki Kajali yang secara materi biasa saja. Padahal, Ki Kajali sejak 1963 sudah memainkan wayang garing. Tapi, dia harus tetap bekerja sebagai buruh tani, pembuat genting dan batu bata untuk menyambung hidup. Alasan lainnya, saya tak tahu pasti.
Yang pasti, ancaman kepunahan wayang garing sudah di ujung tanduk. Ini setelah tersiar kabar, Ki Kajali sebagai satu-satunya dalang sedang terbaring sakit. Bukan bermaksud mendahului takdir Tuhan. Karena kepada Ki Kajali-lah, kita masih bergantung akan keberlanjutan wayang garing.
Asumsi saya setidaknya diperkuat dari hasil seri diskusi Girang, Banten Girang bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsiapan (DPK) Provinsi Banten, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Banten, dan biem.co. Diskusi seri ke-13 itu, secara khusus mengangkat tema “Wayang Garing dan Problem Pewarisanya” dengan narasumber Peneliti Muda, Kantor Bahasa Provinsi Banten, Nur Seha.
Meski di ujung tanduk, apakah masih ada asa keberlanjutan generasi wayang garing? Saya kira masih ada. Jika rencana penelitian lebih lanjut, sekaligus mendokumentasikan wayang garing dari Ki Kajali dapat dilakukan. Kita berdoa, Ki Kajali tetap sehat. Dan rencana penelitian juga pendokumentasian keberlanjutan Wayang Garing membuahkan hasil. Tentu saja, ini membutuhkan kerja serius dan kolaborasi dari banyak pihak.