Oleh : Eka Ugi Sutikno
Melancong biasanya disukai banyak orang, karena ia akan bertemu dengan banyak hal termasuk makanan, orang asing, budaya lain, hingga suasana baru yang kerap membuat kita homesick.
Jurnalisme, sebagai wadah pelaporan kepada khalayak ramai, tidak hanya memperlihatkan mengenai kondisi negara yang bobrok dan korup, melainkan menawarkan catatan etnografi yang deskriptif juga prosaik. Salah satunya adalah jurnalisme perjalanan.
Jurnalisme perjalanan biasanya merupakan bentuk yang sangat otobiografis apabila melihat dari gaya Bahasa menggunakan kata ganti pertama, yakni ‘aku’ atau ‘saya.’
Ditambah bahwa genre ini biasanya berkaitan dengan eksplorasi dan presentasi subjektivitas narrator sebagai pelancong. Dengan demikian, jurnalisme perjalanan sama halnya dengan menjelajahi dan melaporkan dunia di mata penulis (Thompson, 2011).
Di sisi yang sama, jurnalisme perjalanan serupa dengan pariwisata yang melibatkan banyak pemangku kepentingan: pemerintah, industri perjalanan swasta, penulis/jurnalis perjalanan, wisatawan, agen hubungan masyarakat, hingga perusahaan periklanan (Hanusch & Fürsich, 2014). Maka, tidak heran di dalam tulisannya terdapat deskripsi dan cerita mengenai tempat yang pernah atau sudah dikunjungi.
Terlepas dari pembahasan bahwa jurnalisme perjalanan seperti memiliki misi kepada pembaca agar melihat budaya sebagai sesuatu yang dinamis, terdapat tiga poin penting yang harus diperhatikan ketika ingin menulis jurnalisme perjalanan. Ketiganya adalah deskripsi, diski, dan data (Sofyan, 2020).
Sebelum membahas beberapa prinsip ini, saya akan melampirkan satu bentuk jurnalisme perjalanan dari Sigit Susanto. Setelah itu, membahas artikel melalui ketiga prinsip.
Lebaran di Swiss: Gontok-gontokan Pilkada Juga Sampai Sini
Sigit Susanto 26 Juni 2017
Lucerne adalah kota yang indah. Panorama bangunan kuno dibelah Sungai Reuss yang mengalirkan air dari Vierwaldstättersee atau Danau Lucerne membuatnya menjadi incaran pelancong manca, termasuk dari Indonesia.
Siang ini, Sabtu, 24 Juni 2017, kota ini ditaburi stan-stan kecil menjajakan makanan dan minuman. Bukan untuk menyambut buka puasa, melainkan memang ada festival musik rakyat; festival tahunan yang digelar secara terpencar di sekujur kota.