Oleh : Lila Purnomo
Di tengah prospek majunya industri perbankan RI di era digital saat ini, terdapat sejumlah tantangan dan risiko yang siap mengintai kapan saja yang perlu diwaspadai oleh pelaku perbankan, mulai dari kebocoran data nasabah hingga risiko serangan siber.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati buka suara soal kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS).
Sri Mulyani mengatakan kejatuhan SVB ini dapat dijadikan studi kasus untuk Indonesia. Bendahara negara ini menjelaskan, dalam beberapa minggu terakhir, bank regional yang hanya memiliki aset sebesar US$ 200 miliar telah menimbulkan guncangan terhadap para nasabah lainnya di bank-bank besar.
Sementara itu, Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia yakni Muhammad Edhie Purnawan, Ph.D, mengimbau masyarakat untuk percaya sepenuhnya dengan pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, dalam menjaga stabilitas perbankan Indonesia.
Menurutnya, semua harus percaya sepenuhnya dengan pernyataan Menkeu, bahwa tidak akan terjadi dampak yang relatif besar terhadap Indonesia terkait kejadian di bank-bank Amerika. Ia menilai perbankan di Indonesia relatif aman karena keterkaitan antara penutupan bank di Amerika dengan Indonesia tidak tinggi.
Edhie menambahkan jika dilihat dari perkiraan beberapa bulan yang lalu, dimana perekonomian dunia dinilai akan gelap di tahun 2023, namun sepertinya lebih bagus. Meskipun ada beberapa gejolak pada perbankan di Amerika beberapa hari terakhir ini.
Jika melihat inflasi dan harga komoditas, ada penurunan inflasi karena Amerika, salah satunya, melakukan kebijakan moneter ketat. Sehingga yang terjadi di global dan yang harus menjadi perhatian bersama, yang dilakukan Jay Powell terlihat agresif sehingga menyebabkan bank sentral semakin bersikap hawkish untuk mengendalikan inflasi yang mereka alami pada 2022 dan awal 2023.
Lebih lanjut ia menegaskan dampak dari pengetatan moneter ini tidak akan terwujud sebelum tahun 2024. Amerika punya ekspektasi inflasi 2%, sehingga masih lama akan tercapai. Terdapat potensi munculnya sudden stop dan flight to quality, yaitu aliran modal keluar dan depresiasi nilai tukar yang mengikutinya.
Jika Indonesia membangun kepercayaan yang kuat maka akan aman. Dan jika melihat dari beberapa aspek sejenis seperti stabilitas dan politik, menurut pendapat Edhie masih tetap sama.
Serangan terhadap Ukraina masih belum berhenti, tetapi bantuan terhadap masih terus mengalir. Jadi ada fenomena global geopolitik dan global geoekonomi yang terkait satu sama lain.
Bank di Indonesia relatif aman karena keterkaitan antara kebangkrutan tiga bank di Amerika dengan Indonesia tidak tinggi. Hal yang perlu diperhatikan adalah perusahaan-perusahaan yang dibiayai, terutama start-up yang terhubung dengan bank-bank besar di Eropa atau Amerika. Bank-bank di Indonesia tidak perlu khawatir akan hal itu.
Sri Mulyani juga mengatakan bahwa sektor keuangan di Indonesia masih berada dalam situasi yang sangat baik dengan pergerakan modal asing menuju emerging market. Arus modal menurutnya sudah masuk ke Indonesia. Kita semua harus percaya sepenuhnya dengan pernyataan Menkeu, bahwa tidak akan terjadi dampak yang relatif besar dengan kejadian di bank-bank Amerika.
Disis lain, Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Indonesia, Dr. Teguh Dartanto, Ph.D, juga mengamini bahwa penjelasan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai kondisi Indonesia cukup aman. Sektor keuangan di Indonesia jauh lebih pruden dibandingkan sebelumnya karena kita punya pengalaman krisis. Dimana Asian financial crisis tahun 1998 merubah arsitektur perbankan Indonesia, sehingga jauh lebih prudent dalam mengelola resiko.
Selain itu, pengalaman financial crisis di tahun 2008, dimana ada kolaps bank di Amerika yang berdampak pada Indonesia dan negara-negara lain. Indonesia juga punya pengalaman di masa pandemi. Indonesia menjadi one of the best ekonomi yang cukup baik dalam performancenya selama pandemi. Hal ini tentunya tidak terlepas dari keluwesan Sri Mulyani dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Teguh Dartanto menyatakan ada dua faktor yang berpengaruh, yaitu good policy dan good luck. Indonesia bisa mengontrol dengan baik isu terkait keuangan dan kebijakan di sektor riil cukup terkontrol. Menariknya, koordinasi dari sektor fiskal, sektor moneter, dan sektor keuangan. Artinya ada koordinasi yang bagus antara Kemenkeu, Bank Indonesia, OJK, dan LPS.
Pengalaman saat pandemi lalu bisa menjadi pembelajaran, sehingga Indonesia sudah cukup siap menghadapi kondisi global yang kemungkinan akan ada efek dominonya. Dan peristiwa domino effect itu pasti ada, namun tidak sebesar yang kita khawatirkan. Dengan koordinasi yang cukup intens dari empat otoritas tadi, juga pengalaman krisis dan pandemi, kita bisa memitigasi kekhawatiran tadi.
Ia juga sangat mengapresiasi dimana Presiden sebagai kepala negara telah memberikan peringatan kewaspadaan yang artinya, kita yakin bahwa Indonesia memiliki daya tahan dan relatif tidak terdampak, tetapi juga tidak boleh jumawa.
Disisi lain, Menkeu dengan data dan analisisnya juga menunjukkan Indonesia aman. Dampak langsung dari kejadian di Amerika mungkin tidak terjadi, namun kemungkinan dampak tidak langsung selalu ada. Ini yang perlu dimonitor terus-menerus, dan yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah tetap waspada. (*)
*) Penulis adalah Kontributor Pertiwi Institute