Oleh : Agung Ramadhan
Transisi energi dari fosil ke EBT (eneri baru terbarukan) amat penting bagi lingkungan sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi di Indonesia. Di sisi lain, kita tidak bisa bergantung pada stok fosil sebagai bahan bakar energi karena jumlahnya yang terbatas.
Indonesia dianugerahi kekayaan alam dan hasil tambang yang cukup, seperti batu bara dan minyak bumi. Hasil tambang ini digunakan baik-baik untuk bahan bakar dan menjadikan banyak industri bergerak, karena memiliki energi yang mencukupi. Namun ada permasalahan ketika mereka terus digali, apakah bisa dipakai hingga ribuan tahun ke depan?
Oleh karena itu pemerintah berencana mengganti energi lama menjadi EBT karena khawatir stok tidak mencukupi. Penyebabnya karena selama ini kita menggunakan batu bara, sementara hasil tambang itu terbentuk menjadi fosil. Sedangkan kita belum menghitung berapa banyak fosil yang ada di dalam tanah, sehingga takut ketika batu bara terus digali, maka tak bisa meng-cover kebutuhan energi.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan, transisi energi (energy transition mechanism/EBT) menjadi energi baru terbarukan bukan pilihan. Adopsi EBT di Indonesia harus menjadi masa depan untuk mengganti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap, hingga tahun 2060. Di satu sisi, kebutuhan energi makin besar, sementara di sisi lain energi dari fosil menghasilkan CO2.
Hasil penambahan ini memiliki tantangan, karena tidak dimulai dari titik nol. Seperangkat energi fosil sudah ada di masa lalu, dan dibangun oleh dana investor, dan kontraknya jangka panjang. Takutnya ketika diubah kontraknya, mereka akan meminta kompensasi.
Kompensasi inilah yang dipersiapkan oleh pemerintah, sehingga transisi energi tidak bisa dilakukan secara buru-buru. Transisi wajib disiapkan matang agar tidak ada pihak yang merugi.
Sementara itu, transisi energi memang menjadi kewajiban, selain karena stok fosil yang tidak bisa digali selamanya, juga karena hal-hal yang lain. Salah satunya adalah efek rumah kaca dan perubahan iklim. Jika fosil digunakan terus maka akan menyebabkan emisi yang mencemari bumi, karena ia menghasilkan CO2 alias karbondioksida.
Padahal CO2 membuat nafas sesak dan memanaskan suhu bumi, sehingga bisa membuat perubahan iklim menjadi lebih buruk. Sehingga peggantian bahan bakar fosil menjadi EBT adalah kewajiban. EBT bisa dari energi surya, biomass, energi angin, micro hydro, dll. Energi alternatif ini juga bisa diproduksi di Indonesia, sehingga diproduksi lebih cepat da juga hemat.
Ketika bahan bakar diubah menjadi EBT maka akan lebih ramah lingkungan dan berpengaruh pada perekonomian negara. Lantas apa hubungannya? Begini. Banyak investor terutama dari luar negeri yang sadar akan bahaya perubahan iklim. Ketika mereka tahu bahwa Indonesia sudah memiliki energi baru terbarukan maka akan tertarik untuk masuk dan menanamkan modalnya di negeri ini.
Ketika banyak investor maka otomatis perekonomian maju, karena mereka berani mengucurkan banyak dana segar untuk membuat pabrik padat karya dan proyek-proyek besar. Sehingga akan otomatis membutuhkan banyak pekerja dan mengurangi pengangguran di Indonesia. Perekonomian akan jadi lebih baik karena banyak yang memiliki gaji dan daya beli masyarakat naik.
Transisi energi dari batu bara ke energi baru terbarukan menjadi sangat penting. Pertama, karena lebih ramah lingkungan dan kita menjaga agar jangan sampai terjadi perubahan iklim di Indonesia. Kedua, ketika bahan bakar diubah jadi EBT maka lebih menarik banyak investor dan mereka dengan suka-rela mengelontorkan penanaman modal asing, sehingga menggerakkan perekonomian di negeri ini.
)* Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Penggiat Forum Desa Mandiri