Oleh Arip Musthopa (Co-founder Opinia)
Di pelbagai group WhatsApp, kerapkali kita temukan perdebatan “panas” dan emosional yang, menurut hemat penulis, tidak perlu. Nuansa emosional yang diejawantahkan dalam kata-kata kotor dan kasar dalam perdebatan tak jarang berakhir dengan peringatan keras dari admin group dan bahkan salah satu keluar atau dikeluarkan dari group.
Perdebatan yang tidak perlu tersebut terjadi karena absennya pemahaman tentang struktur nilai diantara para pihak yang berdebat. Sehingga para pihak memaknai pendapatnya sebagai “kebenaran final” yang harus diterima oleh pihak lawan. Padahal sesungguhnya, perdebatan di “area” tersebut tidak mungkin ada titik temu. Memaksakan titik temu, dimana hal ini dimaknai sebagai diterimanya pendapat dia oleh orang lain, adalah salah alamat. Tidak mungkin terjadi.
Selama ini, umum dipahami bahwa hanya ada dua nilai, yakni positif vs negatif, benar vs salah, baik vs buruk, hitam vs putih, dan seterusnya. Persepsi tentang nilai dan realitas terbagi dalam dua kategori tersebut. Bahkan lebih jauh lagi, kedua pemahaman dan realitas atas nilai tersebut, bukan saja hanya ada dua, melainkan keduanya bersifat berhadap-hadapan, tidak mungkin bersatu atau hadir bersamaan (co-exist).
Pemahaman diametral (terbagi dua) tersebut ketika bertemu dengan egoisme manusia, maka yang terjadi adalah memandang pendapat sendiri benar, dan pendapat orang lain salah. Karena hanya ada satu yang benar, yakni punya saya, maka yang lainnya salah, yakni punya kamu.
Pemahaman ini sangat merugikan karena cenderung mengarah, bukan hanya pada perdebatan tidak perlu yang emosional, melainkan juga konflik yang lebih dalam, seperti disintegrasi sosial. Sulit kita membayangkan terbangunnya kerukunan atau tertib sosial dalam masyarakat yang mindset-nya berhadap-hadapan seperti itu.
Pemahaman nilai yang diametral, dalam cara pandang umat Islam (di Indonesia) disimbolkan oleh frase ammar ma’ruf nahi munkar yang sangat populer di kalangan umat. Singkat kata, ammar ma’ruf nahi munkar menjadi doktrin utama yang sering dirujuk dan menjadi panduan umat Islam dalam berpikir dan bertindak. Ma’ruf merupakan kebajikan yang harus ditegakkan, sedangkan munkar adalah kebathilan yang harus dicegah. Keduanya tidak bisa disatukan atau hadir secara bersamaan (co-exist) dalam kehidupan seseorang atau peradaban umat manusia.
Ayat Al Qur’an yang memuat kata al ma’ruf yang diikuti oleh kata al munkar memang disebutkan berulang kali di dalam Al Qur’an. Setidaknya disebutkan dalam 7 ayat, yakni di surat Al Imran (surat 3 ayat 104, 110, dan 114), At-Taubah (surat 9 ayat 71 dan 112), Al-Hajj (surat 22 ayat 41) dan Lukman (surat 31 ayat 17). Dimana semuanya bersifat perintah dan penjelasan tentang apa yang biasa atau harus dilakukan oleh orang beriman, termasuk orang beriman dari golongan Ahli Kitab (Al Imran, 3 : 113-114).
Namun betulkah Tuhan via Al Qur’an hanya memberikan penjelasan dan perintah dalam koridor dua nilai itu saja?Dalam ketujuh ayat di atas, frase yang memuat kata al ma’ruf dan al munkar selalu didahului oleh perintah atau penjelasan lain tentang perilaku orang beriman. Misalkan di surat Al Imran ayat 104, didahului oleh perintah untuk menyeru kepada al khair. Kemudian di At-Taubah ayat 71, didahului oleh deskripsi bahwa orang beriman itu suka tolong-menolong. Juga di Al Hajj ayat 41 yang didahului oleh karakteristik orang beriman yang suka melaksanakan shalat dan membayar zakat.
Penulis meyakini, konsistensi ayat Al Qur’an yang menempatkan penjelasan atau perintah lain sebelum frase yang memuat kata al ma’ruf dan al munkar, memiliki makna tertentu. Dalam hal ini, penulis terinspirasi oleh tulisan Cak Nur yang pernah membahas Al Imran ayat 104, khususnya makna kata al khair, al ma’ruf, dan al munkar.
Dengan mengutip tafsir Al Manar dari Rasyid Ridla, Cak Nur membentangkan perbedaan makna yang mendalam antara al khair dan al ma’ruf. Dalam Al Qur’an versi terjemah Departemen Agama RI, yang populer di masyarakat, nampak gagal dijelaskan perbedaan diantara keduanya. Kata al khair di terjemahkan sebagai kebajikan, sedangkan al ma’ruf tetap diartikan ma’ruf. Lantas, apa perbedaannya? Al khair mengandung makna “kebajikan universal”.
Kebajikan yang melampaui (beyond) batas ruang-waktu atau ikatan sosiologis-historis. Kebajikan yang oleh seluruh umat manusia sejak dahulu, kini, dan di masa yang akan datang; tidak peduli apa ras, suku, bangsa, dan bahasanya; diakui sebagai kebajikan. Bisa juga disebut sebagai kebajikan fitriah manusia, yang bersifat given atau taken for granted.
Sementara itu al ma’ruf secara kebahasaan berarti “yang telah diketahui”, yakni “yang telah diketahui sebagai baik” dalam pengalaman manusia menurut ruang dan waktu. Secara etimologis pula perkataan itu berkaitan dengan perkataan al-‘urf yang berarti “adat”, dalam hal ini adat yang baik.
Al munkar bermakna segala sesuatu yang “diingkari” oleh fithrah, atau ditolak oleh hati nurani (Ensiklopedia Nurcholish Madjid, Jilid 4, 2006 : 3461).
Dengan membentangkan makna al khair, al ma’ruf, dan al munkar di atas, nampak bahwa sesungguhnya bukan ada dua nilai saja dalam kehidupan ini, melainkan ada tiga, yakni kebajikan universal, kebajikan berdasarkan adat-istiadat/hukum/kearifan lokal, dan kemungkaran. Selain itu, hubungan ketiganya tidak dapat lagi dilihat sebagai nilai-nilai yang saling berhadapan, melainkan membentuk pola struktural atau bertingkat. Dimana al khair atau kebajikan universal merupakan nilai yang berada pada struktur tertinggi, kemudian disusul oleh al ma’ruf, dan akhirnya yang paling rendah yakni al munkar.
Untuk lebih memahami perbedaan antara al khair dan al ma’ruf dan kenapa diantara dua nilai tersebut terdapat tingkatan, dapat dilihat dari contoh tentang dilema yang kerapkali dihadapi oleh manusia.
Dimana dalam dilema tersebut, manusia dihadapkan pada memilih diantara dua nilai yang sama penting, namun sesungguhnya terdapat nilai yang lebih penting dari yang lainnya.
Misalkan dalam kondisi kelaparan dan langkanya makanan halal, maka makanan –yang dalam kondisi normal– haram menjadi halal untuk dimakan. Kenapa demikian? Karena hak untuk hidup adalah al khair, sedangkan fiqih halal-haram makanan adalah al ma’ruf.
Contoh lain adalah, ketika seorang pria dihadapkan pada pilihan diantara dua wanita yang sama cantik, namun yang satu jujur dan cara berpakainnya tidak berhijab, sedangkan wanita yang satunya lagi cara berpakaiannya berhijab namun dia suka berbohong. Manakah yang akan dan seharusnya dipilih oleh sang pria?
Pastinya adalah wanita yang pertama. Kenapa demikian? Karena kejujuran adalah al khair, sedangkan kriteria kesopanan dalam cara berpakaian adalah al ma’ruf. Kejujuran lebih penting dan lebih bernilai dari cara berpakaian. Membentuk pribadi yang jujur juga lebih sulit dari sekedar merubah cara berpakaian. Sehingga, kalaupun si pria menginginkan wanita pilihannya memakai hijab, dapat dilakukan kemudian.
Secara fithrah, ada standar yang sama dalam diri setiap manusia untuk cenderung pada al khair. Sebaliknya, ada standar yang berbeda-beda di setiap manusia dalam memandang al ma’ruf. Karena pengetahuan, pengalaman, adat istiadat, dan lingkungan sangat mempengaruhi preferensi setiap individu dalam melihat hal-hal al ma’ruf.
Contoh lain adalah kisah Robinhood dari Inggris. Dimana di satu sisi Robinhood melakukan pencurian dan perampokan (perbuatan al munkar), namun mendapatkan dukungan dan dianggap pahlawan oleh rakyat karena harta curian tidak untuk dirinya melainkan untuk rakyat yang menderita kesulitan akibat penguasa yang tidak adil. Kenapa demikian? Karena keadilan adalah al khair yang derajatnya lebih tinggi daripada upaya pencegahan al munkar.
Masih banyak contoh lain yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya penegakan hukum misalnya, kerapkali kita temukan adanya putusan pengadilan yang mencederai rasa keadilan karena putusan hanya berdasarkan pada proses formil atau prosedural semata, yang merupakan al ma’ruf. Keputusan berbasis al ma’ruf tersebut tidak mampu menghilangkan rasa keadilan (kebenaran, al khair) yang berkobar hebat di hati nurani manusia.
Kembali ke soal perdebatan di group WhatsApp yang terkadang menjadi “panas” dan tidak bermuara pada titik temu, akan lain nuansa perdebatannya apabila para pihak yang berdebat memahami bahwa nilai-nilai yang intrinsik dalam tema yag diperdebatkan tidak bersifat diametral, melainkan struktural. Sehingga dalam memandang persoalan dan mengajukan pendapat, tidak memandang pihak lain –pasti– salah dan pendapat sendiri –pasti– benar. Kesadaran ini akan menghilangkan aspek emosional dalam perdebatan.
Perdebatan “panas” pada umumnya ada di area al ma’ruf dan al munkar. Secara fithrah atau kodrat manusia dan sunnatullah, manusia tidak bisa seragam soal ini. Berdebat sambil memaksakan kehendak di area ini adalah hal yang counter productive, karena akan membuat suasana perdebatan menjadi emosional, sehingga menjauhkan tercapainya titik temu. Lain halnya apabila perdebatan di area al khair seperti nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, biasanya perdebatan tidak bersifat emosional dan lebih mudah diraih titik temu.
Suatu pandangan dan sikap yang sudah mengandung unsur emosional menjadi sulit untuk diubah. Hal ini disebabkan karena posisi dari pandangan dan sikap tersebut tidak lagi murni rasional, melainkan sudah berbaur dengan unsur-unsur irasional. Rasionalisasi berbasis fakta, data, dan teori kuat sekalipun sulit menggoyahkannya. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Karena pandangan dan sikap tersebut sudah terdegradasi dari “area rasio” (akal sehat), ke “area selera” yang bersifat subyektif emosional. Berbicara soal selera, berlaku diktum yang dikenal luas di dunia filsafat, yakni de gustibus non est disputandum (soal selera tidak dapat diperdebatkan). Kalau diperdebatkan, yang terjadi malah debat kusir tak berujung.
Wallahu a’lam bishshawab.
Jakarta, Juli-Sept 2020.