Oleh: Ilham Singgih Prakoso
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan amanat dari konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasca reformasi. Dimana produk hukum reformasi itu memberikan keleluasaan kepada daerah untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya.
Hal tersebut tertuang di UUD 1945 pasal 18 ayat (5) yakni “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat”, dengan demikian pemerintah daerah mimiliki otoritas atas otonomi yang luas tersebut.
Akan tetapi, bagaimana sebenarnya pengaturan mengenai otonomi daerah tersebut dilihat dari prespektif sejarah dari masa ke masa? Pertanyaan tersebut sengaja penulis ajukan gunanya untuk melacak history pengaturan otonomi daerah.
Jauh sebelum kemerdekaan Negara Indonesia, ketika Indonesia berada dibawah kolonialisme Belanda, pemerintah Belanda telah melaksanakan otonomi daerah melalui peraturan dasar ketatanegaraan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait otonomi daerah adalah Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie atau Peraturan tentang Administrasi Negara Hindia Belanda yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
Kolonial tidak mengenal sistem desentralisasi tetapi sentralisasi.
Namun demikian, di samping sentralisasi juga dijalankan pula dekonsentralisasi (penyerahan berbagai urusan dari pemerintahan pusat kepada badan-badan lain). Lalu, pada tahun 1922 pemerintah kolonial mengeluarkan UU baru tentang reformasi administrasi Wet op de Bestuurshervormin yang dari ketentuan tersbut muncullah sebutan Provincie (Provinsi), Regentschap (Kabupaten), Stadsgemeente (Kota), dan Groepmeneenschap (kelompok masyarakat) yang semuanya menggantikan Locale Ressort. (litbang.kemendagri.go.id:2017)
Belanda lari dari Indonesia akibat jatuhnya Perang Dunia ke- II kemudian disusul kedatangan tentara Jepang yang melakukan invasi ke seluruh daratan Asia hingga wilayah Pulau Jawa dan Sumatera. Meski hanya dalam waktu yang singkat, yakni 3,5 tahun (1941- 1945) ternyata Pemerintah Jepang telah banyak melakukan perubahan yang cukup fundamental.
Menurut Djohermansyah, perbedaan pembagian daerah pada masa Jepang jauh lebih terperinci ketimbang pembagian di era Belanda. Di masa itu Jepang mengenalkan bangsa kita istilah RT/RW yang kini masih kita gunakan sekarang (Djohermansyah : 2017).
Namun, istilah otonomi daerah pada waktu itu tidak diberi tempat dimana pada masa Jepang tersebut juga sentralistik seperti pada masa Belanda. Pasca proklamasi kemerdekaan, Indonesia membuka lembaran baru kebijakan yang mengatur tentang desentralisasi daerah pertama kali diatur dalam UU No 1 Tahun 1945 akan tetapi muatan materi UU tersebut masih bersifat Umum sehingga pada tahun 1948 diterbitkannya UU No 22 Tahun 1948 yang mana UU ini menempatkan daerah sebagian otonom (Jimly Asshhiddiqqie : 2008).
Setelah berbagai dinamika yang dialami, selang sembilan tahun setelah di terbitkannya UU No 22 Tahun 1948, pada tahun 1957 dikeluarkan UU No 1 Tahun 1957 yang mencabut UU No 22 Tahun 1948 namun banyak kalangan yang tidak puas terhadap UU ini karena bentuk pemerintahan daerah Tingkat III sama dengan daerah otonom lainnya yaitu daerah tingkat I, II dan III.
Selain itu, menurut Soetardjo UU ini mencerminkan negara federal karana pemerintah pusat tidak memiliki kekuasaanya di daerah (Soetardjo Kartohadikoesomo : 1958).
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah berdampak secara langsung terhadap otonomi daerah akibat dikeluarkannya Perpres No 6 Tahun 1959 dan Penpres No 5 Tahun 1960 yang menurut Liang Gie yang dikutip oleh Jimly.
Tujuan desentralisasi dari demokratisasi ke pencapaian stabilitas dan efensiensi pemerintah daerah yang merubah prinsip desentralisasi ke sentealiasi. (Jimly Asshhiddiqqie : 2008).
Setelah berakhirnya pemerintahn orde lama yang kemudian digantikan oleh rezim orde baru produk hukum daerah yang dikeluarkan adalah UU No 18 Tahun 1965 kemudian UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang secara resmi menggantikan UU No 18 Tahun 1965.
Namun, dalam kenyataannya pemerintahan orde baru masih melekatkan semangat sentraliasi yang pernah dianut oleh orde lama, sehingga watak otoriterianisme juga masih melekat pada pemerintahan orde baru.
Tahun 1998 adalah akhir dari runtuhnya rezim orde baru yang membuka kembali keran demokrasi yang sebelumnya tersumbat oleh praktek otoritariansime. Pada masa inilah kembali di gagas tentang otonomi daerah melalui UU No 22 Tahun 1999 dan terus diperbaharui melalui UU No 32 Tahun 2004 dan terakhir di cabut dengan UU No 23 Tahun 2014. Dengan berlakunya UU tersebut meletakan kembali dasar dan cita-cita desentralisasi yang pada dasarnya tetap dalam prinsip negara kesatuan.
Adanya bentuk dari perwujudan cita-cita desentralisasi tersebut, pemerintah telah banyak melakukan langkah-langkah kongkrit dengan lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah.
Walaupun seiring perjalanannya silih berganti kepemimpinan, pengaturan otonomi daerah yang mengalami pasang surut dan masih jauh dari kata ideal.
Namun, optimisme harus tetap dibangun bahwa kita akan menuju kepada arah otonomi daerah yang sebenarnya.
)* Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Univesitas Islam Indonesia