Oleh: Tofan Mahdi *)
Semakin hari, saya semakin prihatin dengan kualitas produk jurnalistik dari pers Indonesia. Bukannya membangun fondasi untuk melawan arus besar informasi sosial media yang tidak tentu arah, dunia pers seperti terseret arus informasi di sosial media.
Padahal sosial media dan pers adalah dua entitas yang sama sekali berbeda. Sosial media adalah platform komunikasi yang bebas dan cenderung tanpa kontrol. Sedangkan pers terikat dengan UU Pers, Kode Etik Wartawan Indonesia, dan pedomannya merujuk pada arahan Dewan Pers.
Kebebasan pers berbeda dengan kebebasan komunikasi dan informasi di sosial media. Kebebasan pers adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Pers memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan informasi yang objektif, edukatif, dan menjadi sarana kontrol sosial.
Sebuah produk jurnalistik boleh saja menghibur tetapi tetap berperdoman pada kode etik jurnalistik dan juga patut dipertimbangkan apakah sebuah informasi yang dibagikan memberikan manfaat kepada pembacanya. Sebuah produk jurnalistik juga harus bebas dari unsur SARA, terorisme, ujaran kebencian, dan konten berbau pornografi.
Sementara itu, meskipun platform sosial media yang berbasis teknologi digital juga dibatasi dalam koridor seperti diatur dalam UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), produk informasi di sosial media lebih bebas dan tanpa kontrol. Jika sebuah produk jurnalistik kontrolnya adalah pada tim redaksi media yang bersangkutan, yang menjadi kontrol dan filter dari sebuah produk informasi di sosial media adalah audience.
Dalam konteks sosial media, pertanyaan besarnya adalah, apakah audience yang beragam baik dari sisi usia dan tingkat pendidikan itu bisa melakukan self control atas sebuah produk informasi di sosial media? Saya yakin tidak. Dan hasilnya seperti yang bisa kita lihat dalam dinamika sosial media di Indonesia saat ini.