Oleh : Alexander Yosua Galen
Politik SARA dan penyebaran Hoax menjadi salah satu strategi pemenangan pemilu yang sangat merugikan serta merusak marwah demokrasi. 9Sehingga kedua hal tersebut haruslah dihindari agar demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan sehat.
Salah satu resolusi dari Rahmat Bagja selaku Ketua Bawaslu RI adalah harapannya tentang Politik SARA hingga Hoax sudah tidak ada lagi menjelang pemilu 2024. Diriya menyebutkan bahwa kerawanan penyebaran hoax atau informasi sesat yang bersumber dari media sosial masih sangat berpotensi terjadi pada pemilu 2024.
Bawaslu juga tengah melakukan program indeks kerawanan pemilu tematik. Misalnya politisasi sara dan media sosial. Keduanya adalah hal penting bagi pelaku politik untuk mengkampanyekan program serta visi-misi partainya.
Pihaknya akan mengawasi seluruh tahapan yang sekarang berlangsung, dan ke depan juga mungkin akan terjadi, yang pasti terjadi misalnya pada saat ini pengawasan tahapan alokasi kursi dan daerah pemilihan, pemutakhiran data pemilih, kemudian juga pencalonan DPD yang masih berlangsung, dan juga akan melakukan pengawasan media soaia. Keduanya dilakukan demi menekan politisasi sara, hoax serta black campaign.
Menurutnya, politisasi isu SARA serta politik identitas untuk mendapatkan simpati dari masyarakat saat pemilu masih sangat berpeluang bila tidak dibendung. Oleh sebab itu, kita akan menemukan hal yang kemungkinan sama terjadi pada pemilu tahun 2024, dan kemungkinan terjadi masih tinggi.
Pria yang merupakan dosen di Universitas Al Azhar ini menyatakan untuk mengantisipasi politisasi SARA, pihaknya akan bekerja sama dengan tokoh agama dari MUI, PGI, Walubi dan lainnya untuk menurunkan tensi dan juga politisasi sara di tempat-tempat ibadah. Apalagi isu sara sangat erat berhubungan dengan identitas yang melekat pada diri seseorang. Identitas tersebut berupa agama, suku, etnis, ras dan antargolongan.
Tidak berlebihan jika politik sara merupakan bentuk dari kemunduran demokrasi. Sehinga tidak ada yang namanya kewajaran dalam penerapan politik sara demi mendulang suara ataupun kemenangan pemilu.
Melirik pada politik sara yang terjadi pada Pilkada Jakarta 2017 lalu, di mana politik sara telah merusak tatanan sosial masyarakat yang telah harmonis dan damai. Bahkan isu sara tersebut juga menarik perhatian masyarakat seluruh Indonesia.
Isu SARA yang kerap ditemui adalah isu yang disebarkan melalui mimbar agama dan pemberitaan media massa baik cetak maupun online. Hal ini merupakan cara yang empuk guna mendulang suara, apalagi jika narasi yang disampaikan adalah ajakan untuk membenci tokoh politik yang berseberangan.
Di sisi lain provokasi isu sara mampu menyebar lebih cepat melalui media sosial, di mana saat ini setiap orang bisa membuat akun medsos lebih dari satu, didukung pula dengan kepemilikan gawai yang tersambung dengan koneksi internet, tentu saja hal ini akan membuat penyebaran provokasi hoax dapat tersebar secara cepat.
Dalam konteks pemilu, media sosial seperti pisau bermata dua, keberadaannya bisa digunakan sebagai alternative kampanye secara murah bahkan gratis, tetapi keberadaan media sosial juga mampu menjadi sebab perpecahan antar masyarakat, bahkan bagi mereka yang belum saling kenal.
Hal ini terbukti dengan adanya saling hujat di kolom komentar yang membanjiri akun organisasi politik dan akun para politisi. Hal tersebut seakan menggambarkan betapa mudahnya seseorang mengungkapkan kebenciannya hanya karena perbedaan.
Media sosial juga mempermudah penyebaran informasi hoax yang menyesatkan, apalagi hoax politik memiliki potensi penggiringan opini yang rawan menyebarkan kebencian antar masyarakat. Sehingga diperlukan penguatan literasi media dan literasi politik kepada masyrakat agar tidak terpengaruh oleh segala hal yang tersaji di media tak terkecuali media sosial.
Selain itu, partai politik juga perlu melakukan Pendidikan politik yang baik demi terwujudnya politik yang santun dan berkeadaban. Bukan politik yang hanya mencari kemenangan dengan cara menyebar ujaran kebencian.
Jangan sampai politik sara dijadikan sarana alternative oleh tim pemenangan demi memenangkan partainya. Karena sudah jelas bahwasanya politik sara berpotensi merusak tatanan sosial serta merusak marwah demokrasi di Indonesia.
Guna menghindari politik sara maka sudah semestinya Bawaslu terlibat untuk mengatur penggunaan media sosial dalam kampanye pemilu baik piihan legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemberian literasi digital kepada masyarakat khususnya pada para pegiat media sosial juga dirasa perlu dilakukan, sebab hamper setiap orang sudah bisa meninggalkan jejak digital di akun media sosialnya.
Penggunaan media sosial merupakan perkembangan di dunia telekomunikasi, di mana dalam penggunaannya setiap orang bisa dengan bebas mengeluarkan isi pikirannya. Meski demikian bukan berarti kebebasan berpendapat di media sosial tidak memiliki aturan.
Politik sara dan hoax adalah hal yang perlu dihindari guna mewujudkan semangat demokrasi. Perbedaan pilihan maupun pemikiran adalah hal yang wajar. Sehingga diperlukan suatu kesadaran bagi kita semua untuk berhati-hati ketika mengakses media sosial. Jangan sampai tergiring oleh isu sara maupun informasi hoax. (*)
*) Penulis adalah Kontributor Suara Khatulistiwa