Oleh: Ken Supriyono*
Pandemi benar-benar mengubah perilaku sosial sehari-hari. Kita seolah dipaksa mengubah semua kebiasaan, dengan aktivitas yang juga terbatas. Istilah social distancing, physical distancing pun menjadi anjuran yang kerap terdengar dari berbagai saluran informasi.
Perubahan yang begitu cepat ini, terasa seperti gelombang kejutan. Banyak orang menjadi shock. Ada rasa was-was—cemas–panik, dan takut dari keadaan yang seolah-olah serba tidak pasti. Apalagi di masa banjir informasi, yang kadang-kadang tidak teruji kebenarannya. Kelewat dosis disinformasi, bisa-bisa kita jadi tidak waras.
Meski banyak sisi negatif, pandemi ini bisa menjadi momentum untuk kalibrasi ulang. Masa depan yang bisa jadi masih misteri, harus dirancang ulang agar kita tidak gamang menghadapi persimpangan, dan masuk jurang atau terlanjur salah.
Mudahnya, aktivitas fisik kita bisa jadi terbatas, tapi tidak dengan jalan pikiran kita. Toh, ada adagium menyatakan, siapa yang beradabtasi dengan keadaan, dialah yang akan bertahan, atau berhasil meraih sukses atau bahagia. Tak terkecuali, di masa-masa pandemi seperti sekarang.
Daya pikir atau nalar dan kreativitas yang melekat dalam diri kita inilah, yang menjadi kunci utamanya. Ditunjang lagi, selama masa pandemi ini banyak pelatihan, workshop, seminar, dan sejenisnya, yang berbasis digital, berserakan di mana-mana. Baik yang gratis atau pun berbayar. Semuanya terbuka melintasi ruang dan waktu. Yang terpenting, membuka pengetahuan dan teman baru.
Contoh sederhana yang saya rasakan adalah, ketika saya mengikuti kelas menulis online Mekar—memulai karya—, yang dibuka teman-teman dari Yogyakarta. Kendati, mulanya banyak kawan yang bertanya-tanya. Kok ikut kelas menulis? Ngapain ikut kelas menulis? Dan, pertanyaan kenapa, kenapa, dan kenapa lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak ada yang salah. Apalagi, mereka melihatnya saya berprofesi sebagai jurnalis. Profesi yang dipandang sudah sehari-harinya bergelut dengan dunia tulis menulis. Jadi saya maklumi.
Tapi begini. Bagi saya, menulis itu proses, seperti halnya jalan kehidupan kita. Seorang filusuf bernama Plato berujar, hidup meski dikaji dengan jalan pengetahuan, sebab hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak dihidupi.
Dalam belajar kita harus senantiasa menjadi fakir ilmu. Tak ada kesombongan dalam belajar, melainkan kebijaksanaan. Bisa jadi kita merasa bisa, berpuas diri, tapi sesungguhnya kita masih jauh panggang dari api. Justru dengan pelatihan seperti ini, kita semakin terbuka dengan koreksi, evaluasi, dan menambah perbaikan sekaligus kualitas diri.
Dan yang penting lagi, mengikuti pelatihan menulis pun bagian dari cara kita mengkaji hidup. Tidak sekadar menambah pengetahuan baru, melainkan juga, pengalaman, teman baru, dan pola baru yang tidak kita miliki sebelumnya. Juga kejutan-kejutan lain yang sangat intim dengan rasa kita.