Oleh: Yuli Yuliawati
Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi, mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Sederhananya, demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Menurut Samuel Hutington dimana Demokrasi akan tercipta, jika para pemberi keputusan kuat dalam suatu sistem pemerintahan, dipilih melalui suatu proses pemilihan jujur, adil dan secara periodik.
Dalam perkembangannya, seperti dilansir Freedom House tahun 2007. Di seluruh dunia terdapat 123 negara menerapkan sistem demokrasi. Kondisi ini mengalami kenaikan naik dari 40 pada tahun 1972.
Namun, dalam praktiknya, demokrasi digengam oleh sekelompok orang. Akhirnya melunturkan substansi demokrasi itu sendiri. Dalam kajian etika politik oligarki di maksudkan sebagi sekelompok orang, akhirnya bisa mengatur sisitem demokrasi.
Di Indonesia meskipun, memakai sistem demokrasi tapi, praktiknya akar-akar oligarki itu sendiri selalu mempengaruhi sistem. Bahayanya, jika oligarki ini di biarkan maka tidak ada kebebasan dalam berpolitik dan sangat rentan nepotisme itu terjadi.
Penerapan dalam sejarah, terjadi pada Oligarki Sultanistik di era Orde Baru. Cirinya, seorang oligarkis sangat dominan memonopoli berbagai aspek. Dimana kelompok orang itu mengendalikan kekuasaan ekonomi dan politik.
Oligarki penguasa kolektif, ada perjanjian atau aturan bersama dan setidaknya membutuhkan perlucutan senjata secara parsial agar sistem menjadi lebih stabil.
Sedangkan, oligarki kesultanan, selain secara penuh dilucuti atau kewalahan dengan kemampuan koersif, tidak berminat mengatur secara langsung.
Tetapi, justru menikmati perlindungan dari kekuasaan yang tunggal dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk ancaman vertikal. Kekuasaan utama dari perangkat koersif melindungi seluruh kekayaan dari para oligark, tetapi tidak melalui perangkat hukum yang terinstitusionalisasi dalam negara birokrasi yang impersonal.
Perangkat aturan perlindungan justru berada di tangan sang oligark utama, satu oligark yang mengangkangi aturan secara langsung dan sangat personalistik.
Dalam oligarki kesultanan, tidak ada hak kepemilikan yang absolut, yang ada hanyalah klaim properti, dimana rejim kesultanan secara sistematis semakin kuat, tetapi juga dengan perubahan yang menyertai personalisasi kekuasaan.
Stabilitas dari oligarki kesultanan sangat tergantung sejauh mana pemimpin dari oligarki dalam mengelola perlindungan kekayaan untuk para oligark anggotanya secara umum.
Konsep kesultanan sendiri berkembang dari Max Weber mengenai kekuasaan patrimonial. Tiga elemen penting dalam mendefinisikan rezim kesultanan itu sendiri meliputi, kesultanan memerintah secara personal dan mempraktekan berbagai diskresi atas persoalan ekonomi-politik secara signifikan.
Hal ini dilakukan dengan menempatkan hukum dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam subordinasi hak prerogatif sang penguasa. Kedua, kekuasaan kesultanan memelihara kontrol strategis atas seluruh akses kekayaan dan menyebar sumberdaya sebagai bagian penting dari dasar kekuasaanya.
Hubungan di antara para oligarki selain bersifat simbiosis, tetapi juga sesungguhnya sarat dengan ketegangan. Ketiga, kekuasaan kesultanan berupaya untuk menetapkan dan memelihara diskresi pengawasan atas kekuasaan koersif dalam negara. Termasuk kontrol atas angkatan bersenjata, intelejen, polisi, aparat pengadilan, dan kadangkala memperkuat paramiliter yang mereka biayai. (*)
)* Penulis adalah Ketua Departemen Peranan Perempuan Koordinator KUMALA