Oleh : Wahyu Arya *
Sebagai cacing, saya pernah bermimpi menjadi ular naga. Mampu menyemburkan api. Gagah meliuk-liuk di angkasa. Tapi itu cuma mimpi. Cuma ilusi.
Tubuh saya tetap pipih, tenggelam dalam lembab lumpur. Tak tercatat sejarah atau narasi besar kehidupan.
Tapi sebagai cacing saya harus sadar diri. Tempat yang rendah selalu mengajarkan bahwa segalanya akan kembali ke dasar tanah. Burung di angkasa, singa, manusia.
Di antara para cacing, kesadaran semacam ini tentu mahal dan sulit sekali. Seringkali lolos dari riuh rendah suara-suara, tepuk tangan, sanjung puji, penghormatan semu. Kenikmatan hebat yang mematikan. Para cacing kerap tergoda mengubah diri menjadi ular naga.
***
Sebagai cacing, saya kurang piknik. Utek-utek hanya di lumpur lembek. Main paling jauh cuma di tanah gembur. Selebihnya terjebak dalam rutinitas mengisi perut.
Kadang-kadang, eh sering kali saya iri dengan cacing lain yang hidupnya penuh variasi. Sesekali muncul ke atas permukaan tanah, mandi sinar matahari, selfi dengan kupu-kupu, kumbang raja dan foto paling prestisius bersama kawanan kobra.
Jangan tanya di mana ular naga. Doi lagi piknik di Swargaloka!
Saya sadar, piknik yang menyenangkan butuh keberanian dan tahan terhadap tantangan.
Keduanya tidak saya miliki. Keberanian berfoto-foto dengan selebritas dari kalangan hewan cantik dan buas membuat nyali saya ciut. Makanya hidup saya monoton, kurang garam!
Tapi di bawah tanah yang lembek ini saya tak kurang teman. Ada akar dari macam-macam pohon bersemayam. Gerak mereka bukan ke atas tapi terus menggali ke dasar bumi. Menyerap dan mengikat.
Akar kelapa. Akar randu. Akar trembesi. Akar mahoni. Akar ….Mereka terkenal kompak menopang pohon dari terpaan angin dan guncangan gempa.
Mereka membiarkan daun-daun menyapa matahari, sementara tubuh mereka terus menggali bertemu yang sejati.
Kepada akar, saya cacing yang innocent ini belajar banyak hal.
*Penulis adalah Sastrawan Kubah Budaya Untirta. Wakil Ketua Pokja Wartawan Harian dan Elektronik Provinsi Banten