Oleh : Suryana Efendi
“Buyut nu dititipkeun ka puun. Nagara salelung puluh telu. Bangawan sawidak lima. Pancer salawe Negara. Gunung teu menang dilebur. Lebak teu menang dirusak. Larangan teu meunang dirempak. Buyut teu meunang dirobah. Lojor teu meunang dipotong. Pondok teu meunang disambung. Nu lain kudu dulainkeun. Nu ulah kudu diulahkeun. Nu enya kudu dienyakan” (Amanat Buyut)
“Buyut yang dititipkan kepada pun. Negara tiga puluh tig. Sungai enam puluh lima. Pusat dua puluh lima Negara. Gunung tak boleh dihancurkan. Lembah tak boleh dirusak. Larangan tak boleh dilanggar. Buyut tak boleh diubah. Panjang tak boleh dipotong. Pendek tak boleh disambung. Yang bukan harus ditiadakan. Yang jangan harus dinaifkan. Yang benar harus di benarkan”
Baduy merupakan salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia, terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Masyarakat Baduy terbagi kepada dua yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Dalam pembagian ini memiliki perbedaan yang sangat terlihat begitu jelas. Bagaimana masyarakat baduy dalam yang tetap teguh melaksanakan kehidupannya berdasarkan aturan dari segi pakaian, penataan tata ruang dan kehidupan masyarakatnya.
Sedangkan buat masyarakat baduy luar sedikit berbeda dan sudah mulai berbaur dengan masyarakat luar perkotaan dalam aktivitas kehidupannya. Walaupun memiliki perbedaan yang begitu jelas tetapi keduanya memiliki persamaan dalam Philosopy kehidupannya, yang masih menjunjung tinggi amanah dari buyut.
Suatu pandangan hidup yang mengajarkan untuk tetap harmonis dalam hubungannya dengan alam. Dalam pandangan masyarakat baduy, alam bukan dipandang sebagai benda mati yang bisa dieksploitasi dan didominasi tetapi alam dipandang sebagai suatu yang hidup yang harus dirawat dan dijaga sebagai satu kesatuan antara manusia dan alam yang tidak bisa terpisahkan.
Sekarang ini kita ini masuk pada masa ketidakpastian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia terpisahkan dengan kehidupannya. Keterpisahan itu membuat cara pandang manusia terhadap alam sebagai suatu yang tidak hidup.
Sehingga hanya memandang alam sebagai mesin raksasa yang siap untuk dieksploitasi bukan menjadikan alam suatu hal yang harus dirawat. Sebelum masuk pada perkembangan teknologi yang sejauh ini, manusia masih menganggap ada keserasian antara manusia dan lingkungannya sehingga tidak terjadi eksploitasi dan kompetisi.
Itu semua terjadi karena tangan manusia bersentuhan langsung dengan alam sebagai sumber kehidupannya. Tetapi ketika tangan manusia digantikan oleh mesin cara pandang manusia pun ikut berubah, yang memandang alam semesta bagian dari mesin yang harus dikendalikan dan dieksploitasi semaksimal mungkin.
Bukan sebagai suatu makhluk yang sama-sama memiliki daya kognitif. Alam semesta juga memiliki daya kognitif karena alam mampu berkembang dan bertahan sampai sekarang. Efek buruk dari paradigma alam sebagai mesin yang justru akan dijawab oleh alam dengan sebuah bencana lingkungan yang begitu dahsyat. Itu semua terjadi karena kehilangan keseimbangan bagi alam untuk berkembang dan bertahan.
Masyarakat atau suku Baduy yang terus menjaga dan berdialog dengan alam dalam menjaga hubungan antara alam dengan manusia. Suku Baduy menganggap alam bukan sebagai makhluk yang tak bisa berkembang dan menjaga dirinya sendiri tetapi menganggap sesama makhluk kognitif sehingga alam bukan untuk keperluan eksploitasi secara habis-habisan.
Suku baduy memiliki sebuah amanah dari buyut yang harus dijalankan “bagaimana gunung tak boleh dihancurkan dan lembah tak boleh dirusak” amanah itu memperlihatkan kepada kita sebuah paradigma ekologis. Ketika amanah itu dijalankan dengan baik sebuah bencana alam akan terhindar, karena bencana alam lahir dari sebuah kekeliruan paradigma yang menganggap alam sebuah mesin raksasa atau sebuah paradigma mekanistis.
Dalam amanah selanjutnya “Buyut tak boleh diubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung” dalam pesan itu memperlihatkan kepada kita bagaimana sebuah evolusi kehidupan mampu hidup bersama dengan lingkungannya yaitu hidup bersama dengan lingkungan hidupnya sendiri. Atau dalam bahasa Capra disebut dengan Koevolusi. Menjaga amanah buyut bagi masyarakat Baduy merupakan suatu keharusan untuk menjaga masyarakat hidup berkelanjutan.
Memasuki masyarakat modern dengan kecanggihan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan bukan menjadikan manusia terpisah dengan lingkungannya. Tetapi kemajuan dan perkembangan itu harus dijadikan sebagai bahan untuk bisa hidup berdampingan dengan alam demi terwujudnya masyarakat yang berkelanjutan.
Amanah Buyut yang dipesankan kepada masyarakat Baduy menurut penulis itu bukan hanya buat masyarakat baduy saja tetapi untuk seluruh masyarakat. Ketika kita semua ikut menjalankan amanah itu hal yang mungkin tidak akan kita hadapi yaitu bencana berkelanjutan tetapi kita mendapatkan kehidupan yang berkelanjutan. (*)