Oleh: Ustad Efi Afifi, M.Pd.I
Tak terasa, Abuya Uci Turtusi bin Abuya Dimyati sudah 3 hari meninggalkan kita. Bukan hanya saya tentunya, tetapi semua kita pasti terhentak fan masih tak menyangka kepulangan beliau, kita masih menikmati pengajian-pengajian yang beliau selenggarakan setiap pekannya.
Tak kalah penting, peringatan haul syeikh Abdul Qodir Al-Jailani rutin diselenggarakan Abuya di Al Istiqlaliyah, Cilongok,Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang. Ceramahnya begitu renyah didengar, ringan dan membumi, seakan kita sedang dituntun Abuya menilai diri kita sendiri.
Abuya Uci Sahabat Gus Dur, Tutup Usia
Hati yang tandus seketika memiliki nyawa, mengembalikan semangat mengarungi perjalanan kehidupan. Tetapi lebih dari itu sesungguhnya Abuya telah menjadi laboratorium khazanah keilmuan Islam di Nusantara, sesuatu yang akhir-akhir ini khususnya pasca reformasi, banyak diperbincangkan para tokoh agama dan akademisi.
Pertanyaan sederhana yang sering terlontar adalah: apakah kita mengikuti ulama nusantara atau mengikuti Nabi ? Begitu kira-kira gaya pertanyaan yang menggoyahkan kemapanan Islam di Nusantara lama kita nikmati. Alih-alih untuk mengembalikan cara beragama sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW. Cara pandang baru ini mulai menolak habis-habisan budaya Keislaman yang selama ini menjadi identitas..
Tradisi Haul, Tahlil, Marhaba, Maulid, Rajab, Nujubulan, dan lainnya, semenjak kecil kita memahaminya itu merupakan pola ibadah yang diajarkan baginda Nabi Muhammad SAW dan para ulama sebagai pewarisnya, tanpa ada kritik sedikit pun.
Kehadiran Abuya Uci, disaat masifnya arus Islam Trans-nasional yakni masifnya Salafi-Wahabi di Indonesia dan di Banten khususnya, menjadi pijakan kuat bagi kita umat Islam Banten yang mayoritas ini.
Abuya, seperti perpustakaan yang dalam diri beliau terdapat cara pandangan dan laku kehidupan ulama-ulama Nusantara. Diantaranya, Mama Bakri, Mama Syatibi Gentur, Ayah Banjar, Mama Oco Kresek Garut, Mam Obay Karawang, Ajengan Imam Garut, Abuya Dimyati Cidahu, Abuya Bustomi Cisantri, Mama Yusuf Caringin Cisoka dan ulama ulama Jawa Barat Banten kenamaan lainnya.
Kita mengenal khazanah ulama nusantara khususnya Jawa Barat dan Banten melalui Abuya yang memperkenalkan pola hidup ulama ulama tersebut. Gaya ceramah dan pengajian Abuya, adalah gaya khas ulama Nusantara, ulama Nahdliyin. Gaya ulama ulama yang semenjak awal merestui Pancasila sebagai idiologi, dan mendirikan republik ini.
Jika kita perhatikan, dalam pengajian atau ceramahnya, beliau sedikit sekali mengutip Ayat Suci Al Qur’an maupun Hadist, beliau lebih banyak bercerita mengenai pandangan ulama ulama ahlussunnah dan ulama nusantara, pandangan guru guru beliau.
Gaya ini berbeda seribu derajat dengan ulama-ulama baru atau da’i model baru yang menawarkan pengajian selalu merujuk kepada Al Qur’an dan Hadsit Nabi, dalam ceramahnya banyak mengutarakan Ayat maupun hadist, seakan kita digiring untuk beragama langsung kepada Nabi, tidak melalui pandangan para ulama nusantara yang sudah sejak awal Islam masuk ke Indonesia. Mereka telah memproduksi model beragama sesuai dengan ajaran Nabi dan kondisi masyarakat nusantara.
Wiranto Senang Betemu Ketum PB MA, Apa yang Dibahas?
Intinya, model pengajian Abuya, sama sekali tidak melahirkan ekslusivisme dan ekstrimisme dalam beragama, bahkan menjadi rujukan bagi faham terorisme seperti yang akhir-akhir ini kita dengar di media. Abuya, ceramahnya mengarahkan orang untuk sholeh, tetapi tidak tercerabut dari akar Islam khas kaum santri yang tawadhu’.
Dengan wafatnya Abuya, kita kehilangan ulama yang ‘alim dan juga ‘arif, yang mempraktekan pola hidup tasawwuf, sebuah konsep yang pastinya di tentang oleh salafi wahabi seperti Dr Syeikh Shalih Fauzan yang murid-muridnya tersebar di Indonesia menjadi rujukan kaum milenial, seperti Ustadz Abduh Tuasikal, dan lain-lain.
Akhirnya, selamat Jalan Abuya. Kami yakin engkau khusnul khotimah, engkau abadi, sama seperti guru-guru mu, para ulama peneguh ajaran Ahlussunnah wal jamaah annahdiyah. (*)