TIRTAYASA.ID, JAKARTA – Penanganan pandemi Covid-19 harus melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Salah satunya mengakomodir kelompok perempuan, diffable dan disabilitas
Pelibatan kelompok tersebut sebagai upaya kolaborasi agar tidak ada diskriminatif. Selain itu, mempercepat penyebaran informasi membangun gotong royong menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam percepatan penanganan pandemik Covid-19.
Demikian benang merah yang dapat disimpulkan dari webinar nasional Water for Women Project (Proyek WfW) Yayasan Plan Internasional Indonesia (Plan Indonesia) bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia dan Media Indonesia, Rabu (22/07/2020).
Webinar bertema penerapan sanitasi total berbasis masyarakat yang berkesataraan gender dan inklusif (STBM GESI) di masa pandemi Covid-19 ini, diikuti lebih dari 2.000 peserta dari berbagai kalangan. Kolaborasi yang baik antara semua pihak untuk mempercepat pembangunan nasional yang berkesetaraan gender dan inklusi.
Apalagi, air minum dan sanitasi layak yang berkesetaraan gender dan inklusi merupakan hak dasar manusia, dan tidak boleh ada yang ditinggalkan. Untuk memungkinkan hal tersebut, semua pelaku STBM harus memastikan partisipasi aktif masyarakat termasuk perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok diffable, khususnya di situasi pandemik Covid-19.
Webinar menghadirkan nara sumber dari berbagai kalangan. Yakni, WASH & ECD Advisor Plan Indonesia Silvia Devina, dan Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) Yeni Veronika. Kemudian, Sanitarian Puskesmas Batu Jangkih Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) Akhwan, Ketua Persatuan Tuna Daksa Kristiani (PERSANI) Organisasi Penyandang Disabilitas NTT Serafina Bete, dan Kepala Desa Batu Bangka, Moyo Hilir, Sumbawa NTB Abdul Wahab.
Turut serta juga, Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Imran Agus Nurali sebagai penanggap. Diskusi dipantu moderator dari Media Indonesia Rosmery C. Sihombing.
Eksekutif Direktur Plan Indonesia Dini Widiastuti yang membuka webinar mengatakan, peserta dari berbagai wilayah merupakan pelaku STBM dari berbagai kalangan. Baik sebagai pelaku program STBM GESI atau penerima manfaat. “Praktik baik yang sudah dilakukan di lapangan ini yang perlu kita terus dorong,” katanya.
Kata Dini, pelaku STBM berjuang sebagai garda terdepan dalam pencegahan Covid-19. Langkahnya melalui kampanye perubahan perilaku terutama pilar dua gerakan cuci tangan pakai sabun. “Yang menarik dalam webinar ini adalah adanya kehadiran dari perwakilan organisasi penyandang disabilitas NTT yang menyampaikan bagaimana upaya mereka dalam membantu pencegahan Covid-19 di sekitar lingkungan mereka,” katanya.
PENYADARAN MASYARAKAT
Dalam paparannya, Ketua TP PKK Kabupaten Manggarai, Yeni Veronika mengatakan, pelibatan semua pihak khususnya perempuan dan komunitas disabilitas terbukti mempercepat penyebaran informasi dan penyadaran masyarakat. “Kerja-kerja baik ini harus terus dikampanyekan,” ujarnya.
PKK, gugus tugas dan Plan Indonesia, lanjut Yeni, telah memiliki komitmen bersama untuk melakukan sosialisasi, promosi dan edukasi terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). “Kami ingin merubah pola pikir masyarakat terkait PHBS dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan kami merasa 50% sudah sukses merubah pola pikir mereka,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Sanitarian di Puskesmas Batu Jangkih, Lombok Tengah, NTB Akwan menyampaikan pengalamannya selama di lapangan. Ia setuju pelibatan perempuan, kader posyandu dan komunitas diffable terbukti mempercepat penyampaian informasi di masyarakat. “Seandainya akses dan informasi yang disediakan sudah inklusif, kehidupan normal baru dapat menjadi inklusif dan partisipatif dengan keterlibatan mereka,” kata Akwan.
Ketua PERSANI NTT Serafina Bete menambahkan, penyandang disabilitas paling rentan terdampak di masa pandemi Covid-19. Karena itu, pelibatan penyandang disabilitas menjadi sangat penting. “Program penanganan pandemik COVID-19 ini harus mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas,” katanya.
Kabupaten Belu dan Malaka, NTT, lanjut Serafina, sudah dilakukukan. Penyandang disabilitas dapat terlibat penuh, baik dalam kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya masyarakat (LSM). Apalagi dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan, bahwa penyandang disabilitas tidak lagi dipandang lagi sebagai obyek pembangunan, akan tetapi menjadi subyek pembangunan.
PILAR DANA DESA
Sementara itu, Direktur Pelayanan Sosial Dasar Kemendes TT Ivan Rangkuti menyambut baik kolaborasi tersebut. Menurutnya, sejak lahirnya Undang-undang Desa Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, pemerintah Indonesia melalui Anggaran, Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengucurkan dana desa untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dengan besaran yang bervariasi antara Rp 800 juta hingga Rp 1,2 milyar.
Kata Ivan, dana desa ditujukan untuk mendorong desa menetapkan kegiatan prioritas untuk kebutuhan semua orang. Direktorat sendiri sudah membuat panduan desa inklusi. “Jadi dana desa untuk semua, tidak ada yang termarginalkan, lima pilar STBM yang GESI termasuk dalam tujuh paket layanan dasar untuk pencegahan stunting yang menjadi target Kemendes,” ujar Ivan.
Sebagai penanggab, Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Imam Agus Naruli mengapresiasi acara tersebut. Ia kembali mengingatkan jangan sampai ada masyarakat Indonesia yang terdiskriminasi. Bahkan, tidak tersentuh program-program yang baik karena tidak terdata. “Dalam Undang-undang Kesehatan akan mengarah ke sana. Dana desa yang ada juga diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pembangunan bukan hanya yang bersifat fisik, tapi juga nonfisik,” ujarnya. (Nur Aini-Agus Haru/Ken)