Penulis: Sastra Wijaya
Ketika sebagian dari masyarakat modern meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah jendela dunia, ternyata ada sebagian masyarakat lain menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah ancaman. Ilmu pengetahuan dalam konteks pendidikan formal tidak selalu diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat, salah satunya seperti Masyarakat adat Baduy.
Suku yang sejak lama mendiami pedalaman Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten yang memengang adat budaya ini menolak segala bentuk modernisasi termasuk dalam bidang pendidikan. Orang-orang Baduy menganggap bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi ancaman dan mampu mendatangkan malapetaka, sehingga mereka tidak mengenal sistem pendidikan formal (Irawan, 2017) Sebelum membahas lebih mendalam tentang perspektif larangan pendidikan formal, penulis ingin memberikan gambaran tentang Suku Baduy.
Sebutan dengan istilah suku baduy (orang Baduy) yang pada umumnya disebutkan oleh masyarakat luar baduy (modern) dan para peneliti sebutkan tidaklah sepenuhnya benar. Masyarakat adat baduy lebih suka disebut dan menyebutkan diri mereka sebagai urang kanekes, urang rawayan, urang tangtu, urang panamping dengan menyebut asal perkampungan mereka (Suhendar, 2022).
Judistira K. Garna mengatakan bahwa urang Kanekes atau akrab dikenal dengan sebutan orang Baduy merupakan kesatuan sosial yang telah mengamalkan kebudayaannya tanpa meninggalkan warna budaya setempat.
Hal ini juga dinyatakan Lee Khoon Choy (1976, 1999), sejak ratusan tahun yang lalu yang menganggap bahwa suku ini memiliki tradisi dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk menyerap penetrasi budaya Barat tanpa meninggalkan kebudayaan yang diturunkan dari leluhurnya.
Kajian-kajian Judistira K. Garna menggambarkan mengenai upaya orang Baduy mempertahankan budayanya di tengah arus perubahan yang begitu deras menerpa kehidupan mereka tanpa meninggalkan akar budayanya (Kartawinata, 2020).
Pendapat yang menyatakan bahwa semakin maju kebudayaannya, semakin berkembang teknologinya karena teknologi merupakan perkembangan dari kebudayaan yang maju dengan pesat (Adib, 2011:254). Tentu mengambarkan kepada kita bahwa teknologi dan kebudayaan merupan dua mata uang yang saling berbagi sisi.
Budaya masyarakat baduy yang masih terjaga hingga saat ini, di tengah arus kemajuan komunikasi dan teknologi yang begitu pesat di tengah masayarakat modern yang begitu bergantung dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya terhadap teknologi, baduy menegaskan bahwa masayarakatnya telah berhasil menangkal kemajuan teknologi tersebut, dengan melihat kehidupan prilaku masyarakatnya yang tidak banyak berubah dan tidak terdampak.
Hal ini tentu dapat dinilai positif karena mampu menjaga kelestarian nilai budaya masyarakat baduy, namun juga mendapatkan nilai negatif bagi sebagian kalangan karena kemajuan teknologi tidak mampu mendorong perubahan pola prilaku masyarakat.
Dalam masyarakat modern teknologi informasi yang melaju dengan pesat, tentu akan mendorong terjadinya perubahan perspektif sosial budaya pada generasi muda yang lebih populer sebagai para milenial (Gen Y), perkembangan teknologi menjadi momentum lahirnya era globalisasi yang juga berdampak semakin terbukanya beragam budaya-budaya bangsa secara global.
Respon set yang ditampilkan oleh berbagai budaya terutama pada segmentasi milenial kini akan sama dan ini yang menjadi permasalahan serius bangsa Indonesia karena memicu degradasi budaya yang dapat membahayakan kelestarian budaya asli. Hal ini yang kemudian mendasari masayarakat adat baduy bersikap tertutup terhadap kemajuan teknologi untuk memnuhi kehidupannya.
Perubahan tingkah laku masyarakat yang mengikuti perkembangan teknologi dan berpusat pada kebutuhan manusia saat ini lebih dikenal dengan istilah Society 5.0. Pada era Society 5.0 setiap tatanan kebutuhan masyarakat akan berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasiskan pada teknologi (technology based) yang dikembangkan oleh Jepang. Perkembangan Society 5.0 sebenarnya sudah dimulai sejak peradaban di dunia dimulai.