Oleh: Muhammad Haris Wijaya
Saya tuliskan ini sebagai buah pikir dan perantara rasa resah saya atas “labelling” false & misleading information yang diberikan oleh media bernama Tirto.id kepada sahabat saya Dharma Pongrekun berkenaan tentang “pendapat” nya mengenai candu gawai. Simak ulasan saya:
Saya menjadi teringat petuah yang disampaikan oleh Bapak Proklamator Indonesia Ir. Soekarno yang begitu menggugah dalam konteks saat ini. “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bago orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun” ucap Bung Karno.
Saya rasa konsep pemahaman dasar inilah yang membimbing Bung Karno menjadi sosok pembeda di saat itu. Beliau berani menyuarakan gagasannya kepada dunia hingga saat itu Indonesia menjadi salah satu negara yang disegani.
Beliau berani untuk keluar dari ‘trek’ dimana dunia saat itu sedang dalam situasi perang dingin antara blok barat dengan blok timur. Dengan briliannya beliau menginisiasi Gerakan Non-Blok dan mengajak negara-negara dunia ketiga untuk ikut serta dengan Gerakan Non Partisan tersebut.
Sikap heroik Bung Karno membuat nama beliau harum bahkan sampai sekarang diantara negara-negara yang menghormati beliau. Hal tersebut dapat terjadi karena beliau berani untuk mengambil pandangan soal kebenaran pada era itu tidak melulu soal mendukung Barat ataupun berpihak ke Timur. Beliau menerapkan kebenaran versinya sendiri dimana perdamaian dunia dapat dicapai dengan tanpa harus memihak
Apa yang dapat dipetik? Sederhananya, there is no absolute truths. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan kebenaran menurut versinya sendiri. Saya bukan penganut aliran relativism, namun saya meyakini bahwa setiap pendapat, setiap pemikiran, ataupun setiap pandangan adalah hak yang dimiliki oleh seseorang manusia sebagai sebuah entitas yang bebas.
Kemelut dalam hidup tidak melulu dapat diselesaikan oleh ragam teori yang ada saat ini, sebab setiap ilmu pengetahuan akan selalu menyisakan ruang kosong dan menjadikannya itu sebagai sebuah misteri. Perlukah setiap manusia untuk menemukan jawaban atas kekosongan itu? Tentu perlu. Tapi, apakah setiap manusia “mampu” menemukannya? Nah, jawabnya belum tentu.
Dengan pembuka diatas, lantas saya ingin menuliskan tentang sebuah kegelisahan yang merundung lobus frontal otak saya atas sebuah artikel yang diterbitkan oleh media Tirto.id dalam kolom “periksa fakta”.
Sudah ratusan artikel periksa fakta yang dimuat oleh Tirto.id, sampai akhirnya seorang rekan saya mengirimkan link artikel dari Tirto.id yang menyematkan label false & misleading terhadap sebuah postingan instagram seorang petinggi Polri yakni Komjen Polisi Dharma Pongrekun.
Saya kembali membaca postingan Dharma secara utuh dan mengesampingkan terlebih dahulu narasi yang dibangun oleh Tirto.id. Secara substansi, saya melihat kegelisahan seorang Dharma akan candu manusia pada gawai atau gadget yang sudah sedemikian rupa merusak susunan luhur tubuh kita, atau dalam konteks ini Dharma menyebutnya ‘manusia dijauhkan dari fitrahnya’.
Keterikatan manusia dengan gadget memang tidak dilakukan secara sporadis, semua bertahap dengan anak-anak tangga yang telah kita lewati bersama. Setiap pembaharuan fitur smartphone hari-hari ini, tanpa kita sadari memang membuat rasa candu itu mulai muncul dan berkembang didalam jiwa kita.
Beragam surveyor melakukan penelitian tentang berapa jam dalam sehari manusia menghabiskan waktunya menggunakan smartphone. Ada yang menyebutkan bahwa kita habiskan 3 jam, 4 jam, 5 jam bahkan 8 jam dalam satu hari untuk memainkan gadget. Bukankah itu sebuah sinyalemen yang patut kita cemaskan?
Sesungguhnya, poin terpenting yang ingin Dharma sampaikan adalah awareness kita harus dibangkitkan kembali untuk mengantisipasi sisi buruk penggunaan gadget yang berlebihan dan ditakutkan apabila kita tenggelam dalam rasa candu yang pada akhirnya merusak body intelligent kita.
Keliru Memahami Tujuan
Terdapat setidaknya dua kesalahan fundamental yang dilakukan oleh Tirto.id dalam sebuah artikel berjudul ‘Komentar Dharma Soal Gawai, Candu dan Perusakan Sel, Hoaks/Fakta?. Kesalahan pertama adalah bagaimana penulis mencoba untuk menelaah satu persatu makna dari frasa yang dituliskan oleh Dharma dengan pemahaman penulis sendiri tanpa mencoba memahami alur pemikiran dari pemilik postingan.
Padahal di akhir kalimat Dharma menyampaikan tujuan dari alur pikir yang ia sampaikan, beliau memberikan nasihat “Dengan hidupmu, taburlah kebaikan. Dengan Gadget-mu, beritakan kebenaran”. Logika sederhananya mudah, untuk apa beliau memberikan sebuah nasihat soal memberitakan kebenaran jika informasi yang beliau sampaikan mengandung kebohongan.
Dalam postingan juga sangat jelas bahwa Dharma mengajak agar setiap orang untuk mengembalikan fokus kepada jati diri manusia sebagai ciptaan Tuhan. Artinya dengan postingan tersebut Dharma menyampaikan agar jangan sampai manusia tenggelam dalam menggunakan Gadget, sehingga melupakan esensi dirinya untuk hidup di muka bumi ini.
Postingan yang disampaikan Dharma adalah sebuah refleksi untuk mengingatkan, bukan untuk menakutkan apalagi menyesatkan, dan Tirto.Id keliru untuk memahami hal tersebut dengan menyimpulkan sangat tergesa-gesa bahwa informasi yang disampaikan dalam Postingan Dharma sebagai informasi yang salah dan menyesatkan.
Kesalahan yang kedua adalah Tirto.id dalam menuliskan artikel tersebut sama sekali tidak melakukan konfirmasi terhadap Dharma, padahal artikel yang dibuat berpotensi merugikan nama baik dari Dharma. Dharma Pongrekun adalah Pejabat Negara yang mengemban amanah sebagai Wakil Kepala Badan Sandi dan Siber Negara yang juga seorang Polisi dengan pangkat Komjen Polisi.
Artikel yang menghakimi sebuah narasi dari Dharma adalah kebohongan, dapat berdampak kepada kredibilitas dan integritas beliau. Sehingga Tirto.id seharusnya melakukan konfirmasi terlebih dahulu agar Dharma tidak merasa pribadinya dirugikan dan dapat menjelaskan makna sesungguhnya dari postingan beliau.
Menghakimi seseorang memang sangatlah mudah, padahal Hakim sendiri sebagai penegak hukum melakukan tugasnya dengan harus mengkonfirmasi dahulu baik kepada terdakwa, tersangka dan saksi, untuk pada akhirnya menentukan seseorang bersalah atau tidak di mata hukum. Artikel yang ditulis oleh Tirto.id jelas telah melakukan penghakiman yang prematur terhadap postingan Dharma.
Seharusnya ada konfirmasi ulang yang dilakukan oleh Tirto.id yang paham akan kode etik jurnalistik dan dalam rangka menghormati Dharma sebagai seorang individu dan pejabat negara. Melakukan konfirmasi merupakan hal yang sangat penting dalam rangka menjaga keberimbangan karya jurnalistik.
Sehingga setelah sebuah karya jurnalistik telah diterbitkan atau disebar ke publik, tidak muncul apa yang disebut sebagai penghukuman media atau trial by the press. Sebagai sebuah media, Tirto.id seharusnya paham betul hal tersebut, sebuah karya jurnalistik yang memberitakan seseorang haruslah memiliki Cover both side agar pemberitaan tersebut menjadi lebih kredibel dan tidak terkesan framing menjatuhkan pihak tertentu .
Ah, rasanya saya percuma bercerita panjang tentang maksud dan tujuan ini, apabila batu pijak kita berbeda. Jika penulis artikel Tirto.id memiliki waktu yang cukup, mungkin ia tidak perlu berhenti pada satu postingan itu saja. Ia harus lebih memahami maksud dan tujuan terdalam sang pemilik informasi.
Apakah dengan melakukan re-checking pada jurnal ilmiah, lantas artikel Tirto.id dapat dibenarkan untuk menancapkan bendera false & misleading information pada postingan Dharma?
Saya kembali mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi atas kehidupan ini. Ingatlah, bahwa sejak dulu manusia senantiasa berupaya untuk mencari kepastian ketika menghadapi atau bersentuhan dengan realitas hidup yang dijalani oleh masing-masing kita.
Dharma sedang melakukan itu, ia tidak serta-merta menerima begitu saja tradisi historis yang telah terbangun kokoh hari ini. Jika kebiasaan seperti Tirto.id ini dipelihara, saya takut bahwa ke depan, tidak ada lagi pendobrak kredo teknologi dan pada akhirnya kita hanya menerima saja tanpa mengetahui maksud dan tujuan ragam ciptaan teknologi hari-hari ini.
Apakah kelak kita hanya akan menjadi entitas yang berpangku pada metode-metode periksa fakta seperti kasus diatas? Jika opini dan pemikiran kita selalu dibenturkan dengan textbook yang secara turun-temurun menjadi asupan rutin dalam masa pendidikan, maka sejatinya iklim seperti ini sangat tidak baik.
(* Penulis adalah pemerhati sosial